25. Liburan Dadakan (2) Yang Berkesan

5.9K 243 12
                                    

"Mapsnya berhenti." ucap Irvan.

"Apa maksudmu kita sudah sampai?" tanyaku masih belum berani membuka kain penutup mata.

"Kau harus melihatnya sendiri." ucap Irvan seraya membuka penutup mataku dengan perlahan.

"Lihat." sambungnya seraya menunjuk layar maps di mobilnya.

Unknown road.

Itu adalah tulisan yang pertama kali ku baca. Ku lihat ke sekeliling, bagus sekali. Kami masih berada di tengah hutan dan sekarang kami kehilangan sinyal. Aku tidak tahu mengapa bisa terjadi hal seperti ini padahal seharusnya ini adalah momen yang menyenangkan.

"Ya sudah, kita jalan dulu saja." ucapku.

Kemudian, Irvan kembali melajukan mobilnya sesuai dengan ucapanku. Kami benar-benar jalan tanpa arah yang jelas. Untungnya jalanan ini lurus dan ku harap akan tetap seperti ini hingga kami sampai di perkemahan.

"Pakai penutup matamu jika takut, Dew." ucap Irvan.

Aku menggeleng. Aku memang takut namun lebih baik menghadapinya toh berdua dengan Irvan. Aku juga bisa melihat dan mengetahui apa yang terjadi tanpa harus menerka-nerka. Rasa takut memang seharusnya di lawan bukan di hindari.

Irvan melajukan mobilnya dengan hati-hati. Sejujurnya, lebih baik tidak ada mobil atau orang sama sekali daripada ada tetapi untuk berbuat jahat. You know, sekarang ini banyak sekali modus kejahatan yang ada tanpa kita sadari.

Sial!

Ada pertigaan. Kami berhenti.

"Kanan atau kiri?" tanyanya.

"Apa tidak ada penunjuk jalan?" ucapku balik bertanya.

Tempat macam apa ini ya Tuhan. Seharusnya ada penunjuk jalan namun mengapa aku tidak melihatnya satupun disini. Ada dua kemungkinan, kalau kami benar berarti akan sampai namun bila salah kita akan tersesat disini. Ini semakin buruk saat ku lihat bahan bakar mobil Irvan mulai menipis.

"Kalau aku tidak salah, kita seharusnya belok kiri." ucapnya yang tidak ku ketahui sumbernya darimana.

"Mengapa kau bisa mengatakan ke kiri?" tanyaku.

"Feelingku mengatakan kalau kita belok kanan, kita akan kembali lagi ke jalan semula." ucapnya yakin.

"Apa jaminanmu?" tanyaku.

"Kau yakin menantang seorang pria?" ucapnya.

Aku mengangguk. Aku hanya ingin tahu sejauh mana ia bisa bertanggung jawab dengan keputusannya. Aku tidak ingin jika nanti kami tersesat lalu ia tidak mau disalahkan. Jelas saja setidaknya aku harus memakinya, memukulnya dengan membabi buta karena membuatku tersesat ditengah hutan.

"Baiklah jika aku salah, kau berhak melakukan apa saja padaku tetapi jika aku benar, kau berhutang padaku." ikrarnya.

"Hutang macam apa itu?" tanyaku.

"Aku belum menentukannya." ucapnya.

"Baiklah aku setuju." ucapku lalu kami bersalaman.

Atas kesepakatan bersama akhirnya kami belok ke kiri. Jalanan masih sama, hutan di kanan kiri kami serta jalanan yang gelap tanpa ada lampu jalan selain lampu yang berasal dari mobil kami. Aku rela berhutang padanya asalkan kami tidak tersesat.

Tadinya aku ingin mengecek ponselku namun sepertinya percuma saja karena tidak ada sinyal jadi kami masih harap-harap cemas selama menatap jalanan yang sepi. aku tidak tahu darimana Mama mendapatkan rekomendasi tempat berkemah yang jauh dan jalan yang menyeramkan ini.

Like a BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang