39. New York

5.4K 240 20
                                    

Tubuhku bergeming ketika melihat semua koperku berada di teras rumah. Mungkinkah Papa mengusirku karena anaknya ini sudah membohonginya. Astaga kepalaku mendadak pening memikirkannya.

Selain koper, yang membuatku tidak habis pikir adalah beberapa pria berbadan besar yang tempo hari ku lihat di pantai tampak berjaga-jaga di beberapa sudut rumahku. Ada apa ini sebenarnya.

"Aku tunggu di mobil," ucapnya yang ku beri tatapan tajam.

"Lebih baik kau pulang saja." ucapku sinis.

Setelah mengatakan itu, perlahan ku buka pintu rumah dengan perlahan. Jantungku mulai berdebar ketika memasuki rumah yang terasa begitu dingin. Ku tatap canggung kedua orangtuaku yang berdiri tidak jauh dariku. Mereka berdua bersidekap tak bersahabat ketika melihatku. Ah habislah aku.

"Pagi, Ma, Pa." sapaku ragu-ragu.

"Mama beri waktu kalian 5 menit." ucap Mama seraya berjalan menuju ruang keluarga diikuti Papa meninggalkanku sendirian.

Aku tidak mengerti dengan ucapan Mama namun ketika Bayu muncul dari ruang keluarga aku langsung tersenyum bersyukur karena melihatnya tampak baik-baik saja.

"Terima kasih, Om, Tante." sahut Bayu lalu ia menghampiriku.

Aku berlari kecil ke arahnya kemudian memeluknya erat namun tidak di balas olehnya. Ia malah melepaskan pelukanku. Aku sedikit kecewa dengannya tetapi aku tidak boleh berpikir yang tidak-tidak karena mungkin saja ia tidak mau menyia-nyiakan waktu yang diberikan oleh orangtuaku.

"Kau harus selalu bahagia, Ew. Aku sangat menyayangimu." ucapnya seraya mengelus rambutku.

"Kau tahu aku bahagia setelah bertemu denganmu dan aku akan selalu bahagia kalau kita bersama." sahutku seraya balas membelai wajahnya namun lagi-lagi ia menolaknya dengan mengambil tanganku yang tengah mengelus wajahnya.

"Kau harus tetap bahagia walaupun tidak bersamaku, Ew." ucapnya membuat alisku bertaut.

"Apa maksudmu, Bay?" tanyaku karena ucapannya kali ini membuat emosiku goyah.

"Aku tidak bisa bersamamu seperti dulu lagi. Kita hanya ada di masa lalu. Keadaan sekarang sudah berbeda tetapi ku harap kita masih bisa menjadi teman baik." ucapnya.

"Apa yang sudah orangtuaku katakan padamu, Bay?" ucapku sedikit kesal.

"Ini murni keputusanku." sahutnya.

"Jangan berbohong padaku. Apa orangtuaku mengancammu lagi?" tanyaku tidak sabaran.

"Tidak, Ew. Jangan berpikiran buruk kepada orangtuamu." ucapnya masih dengan nada lembut.

"Lalu mengapa kau melepaskanku!" teriakku kesal.

Ia diam. Astaga aku tidak tahan lagi dengan semua ini. Aku tidak peduli kalau semua isi rumah ini mengetahuinya, mengetahui betapa kecewanya aku saat ini.

"Kemarin kau bilang akan memperjuangkanku di depan orangtuaku tapi apa sekarang? Mereka ada disini tapi kau malah melepaskanku." ucapku kesal dengan nada penuh penekanan menunjuk diriku sendiri.

Ia masih diam sampai orangtuaku muncul dari arah ruang keluarga bersamaan dengan beberapa pria berbadan besar yang memasuki rumah diikuti Irvan. Untuk apa mereka memasuki rumahku, aku belum selesai dengan Bayu.

"Waktu sudah habis." ucap Mama mengingatkan lama waktu yang ia berikan sebelumnya.

"Kau harus bahagia bersama dengan Irvan." ucapnya.

Aku ingin menangis mendengarnya. Astaga mau kemana ia, kita bahkan belum menyelesaikan apapun.

"Mau kemana, Bay?" tanyaku ketika ia berjalan menuju pintu keluar.

Like a BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang