XX : Badut dan Surat

72 13 6
                                    

" ibu, badut itu tidak mau memberiku ballon. Badut jahat! "
Rengek salah seorang anak paud yang sedari tadi mengerjaiku di belakang tubuh. Dia menarik-narik ekor ayamku hingga aku kesulitan bergerak.

" Juun-a, lepaskan ekornya. "
Ibunya yang sedang asyik bercengkrama dengan teman sosialitanya langsung menoleh. Mendapati kenakalan anaknya yang semakin menjadi, ibu muda itu segera menarik lengan anaknya dan meminta maaf padaku.

Mengangguk sopan, aku menerima maafnya dan dengan segera menyodorkan balon berwarna biru muda kepada anak paud itu.

Menggeleng kuat,anak bernama Juun-a itu malah memberiku cibiran dan muka bebek. Tak lupa sebuah hinaan yang terdengar pahit meluncur begitu mulus dari mulut mungilnya.

" badut jelek! Badut gendut! "

Berdecak kesal, aku langsung memalingkan wajahku dari bocah laki-laki berambut hitam legam itu. Mata bulatnya memandangku tak suka.

Dari kecil saja lidahnya seperti itu. Bagaimana kalau sudah besar?

Kembali memandang sekeliling, anak-anak yang sedari tadi masuk dengan cemberut langsung tertawa senang. Bagaimana tidak, bagian belakang toko yang sudah menjadi kawasan anak-anak ini memang terkenal membosankan.

Hanya terisi buku membaca, mewarnai, gambar-gambar sayur mayur dan binatang, adalah sesi yang sangat menyebalkan bagi bocah berumur sekitar 3 tahun ke atas ini.

Mereka akan lebih senang jika pergi ke toko mainan atau taman bermain daripada toko buku. Biasanya, anak-anak yang ku lihat sedang bergelayut manja di punggung ayahnya. Merengek minta digendong.

Dasar anak-anak.

Dan inilah tugasku. Membuat para anak manja itu betah di dalam toko. Membeli banyak buku dan tertawa riang lalu kembali esok hari.

Tidak terlalu sulit namun juga mengasyikkan. Tak jarang mereka mengajakku berfoto dan berjoget bersama. Jadi, toko yang luas ini akan terlihat seperti taman bermain ketika jam 10 pagi keatas.

" badut gendut, ini untukmu. "
Terdengar sebuah suara mungil dan tanpa dosa dibawahku. Menarik-narik pakaian ayamku dengan tiga kali tarikan yang kuat.

Menghadap bocah itu, aku mengerutkan alis.

Juun-a?

" jika bukan karena coklat ini, aku tak mau mengantarkan padamu  badut jelek! "
Tukasnya.

Di dalam kostum, aku tertawa mendengar celotehannya. Dia sepertinya sangat membenciku hingga kedalam.

Hanya karena aku terlambat memberinya balon.
Memang kuakui, Juun-a tubuhnya terlalu kecil dari yang lain. Hingga kehadirannya tak ku hiraukan. Sampai pada jatahnya, ballon itu sudah habis.

Dan ini lah akhirnya, dia sangat membenciku.

Menerima sepucuk surat berwarna biru muda itu, aku mengerutkan alis. Hendak bertanya pada Juun-a siapa yang mengirim, anak kecil itu sudah terlanjur hilang dengan sebuah coklat silverqueen di tangan kanan.

" siapa? "

Memasukkan dalam saku, aku kembali menari dan memberikan ballon warna-warni itu pada anak-anak yang melintas. Ada yang tertawa riang, ada yang sebatas senyum, malu-malu, hingga histeris seperti kesurupan ketika melihat kehadiranku.

Dasar anak-anak. Mereka adalah makhluk yang mempunyai sejuta ekspresi yang menggelikan.

__________________

Merebahkan punggung di depan lemari coklat ini, aku mulai membuka kostumku satu persatu.

Pengap, panas, lapar dan haus berbaur menjadi satu. Mengusap peluh yang meluber, ( dan jangan tanya soal bau ) aku mulai mengipasi tubuhku dengan tutup bekal makanku.

I Tresno Because Kulino ( Lee Minho ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang