Langkah kakiku semakin cepat menapaki petak keramik, ketika terngiang pesan bos Hanbin jika sebentar lagi lampu akan segera padam. Entah nanti aku sudah sampai diluar atau tidak, bos Hanbin tidak peduli.
Dasar, bos pelit yang tidak sayang karyawan.
Aku hanya bisa menggerutu sambil mempercepat langkah. Berharap dengan sangat pintu keluar segera kugapai. Alamak! Malah terasa jauh saja pintu itu ketika langkahku dipercepat. Tergopoh-gopoh aku membawa badanku ini berlari. Hingga terasa sesak dan pusing.
Nasib memang. Telepon genggamku tiba-tiba jatuh berdebam keluar dari kantong saku dan mencium lantai toko dengan mesra. Memukul kepala, aku lantas balik arah dan mengambil ponselku dengan perasaan campur aduk.
Aku langsung memasukkannya ke dalam tas dan kembali berlari menuju pintu. Aku tersenyum. Semakin mempercepat langkah.
du beon saeng-gaghae...
heunhan namdeulcheoleom... chaghan cheog-eun mos hanikka
chaggaghaji ma..
swibge us-eojuneun geon nal wihan geoya..Seseorang menelepon. Segera saja aku merogoh tasku tanpa berhenti berlari. Malah, semakin aku kebingungan mencari ponsel, bertambah cepat pula langkah kakiku ini.
Entah apa pasal yang terjadi. Entah karena mataku yang terlalu fokus pada layar ponsel, atau karena kakiku yang asal menapak, aku langsung jatuh berdebam di lantai. Kepalaku terbentur dan pandanganku mengarah ke langit-langit ruangan yang masih disinari cahaya Edision ini. Memejamkan mata, aku sedikit frustasi dengan peringatan itu.
Bukannya membantu, malah semakin membuatku repot.
Ponselku jatuh entah kemana. Mungkin hancur atau terpental dan masuk tong sampah. Aku segera bangkit dan mengelus punggungku yang terasa nyeri. Lalu berjalan terseok-seok mencari ponselku. Aku curiga, suara gemelontang tadi bukanlah suara tubuhku. Mungkin itu suara...
Syukurlah. Disalanalah ponselku berada. Di dalam tong sampah yang bersih bagai baru dibeli. Layarnya mati, tapi aku hanya melihat lecet sedikit bekas jatuh pertama tadi.
Kedua tanganku hendak mengambil telepon yang bernasib naas itu ketika lampu ruangan serentak padam. Aku terkejut bukan main. Mengedarkan pandangan, yang kudapati hanyalah gelap dan hawa dingin yang mulai menyergap.
Bukan hanya suara angin atau decitan yang membuatku takut bagai menonton film. Mungkin, hanya mendengar langkah kakiku saja sudah membuatku jantungan, apalagi penampakan. Aku memejamkan mata. Semakin merapatkannya ketika kedua tanganku menggapai benda kotak tipis ini dengan cepat.
Mulutku tak henti-hentinya merapalkan doa.
Lantas segera berbalik badan, dan mematung. Bukan karena aku melihat sesuatu, tapi lebih karena aku bingung apa yang harus kulakukan. Berjalan atau berteriak saja.
'berteriak saja'
Salah satu sisi pikiranku bicara. Memecah keheningan dengan suara khasnya yang menyebalkan.Aku menggeleng-geleng. Berteriak akan semakin membuat para hantu senang dan bersemangat untuk menakuti.
Aku menarik nafas begitu dalam. Menggenggam telepon yang aku tidak tahu masih terhubung atau tidak. Yang memenuhi pikiranku sekarang adalah, aku harus segera keluar.Dingin dan sunyi. Merangkulku yang secara perlahan mulai membuka mata. Lelah meraba-raba, aku melihat seutas cahaya dari lampu jalanan di depan pintu keluar yang semakin jelas.
_______________
Tubuhku terasa hangat, kepalaku ditenggelamkan di dalam dadanya yang bidang. Aku merasa nyaman. Merasa terlindungi dan dibutuhkan.
Namun semuanya bubar setelah sebuah sentakan membuatku terbangun. Tubuhnya bergetar, setelah teriakan tertahan keluar dari mulutnya.
"Bos?"
Aku mendongak, mencari manik bos Hanbin yang ditutupi gelapnya malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Tresno Because Kulino ( Lee Minho )
FanfictionPark Sang Rim, gadis gemuk yang mempesona namun berkepribadian pemalu. Karena kepribadiannya itu, membuatnya harus bersembunyi di balik bayang-bayang baru, Lee Seul Ri. Suzy. Gadis itulah yang dipilih Sang Rim untuk menggantikan dirinya. Gadis yang...