XXIII : Suzy

72 12 6
                                    

Segelas teh tumpah di trotoar.

Seorang gadis menatap pria di hadapannya tidak percaya. Kerinduan yang selama ini diperjuangkannya tak jua dihargai olehnya.

Hendak memprotes, gadis itu malah membungkam mulutnya rapat, ketika tatapan tajam itu melayang padanya. Seolah baru saja mendapat tinjuan, rembesan air mata mengalir deras dari pelupuk matanya. Gadis itu menggigit bibir, menahan sakit dengan caranya sendiri.

" bukankah sudah kukatakan, jangan menunggu. "
Pria berjaket kulit itu menarik nafas kasar.

" aku tidak suka. "
Lanjutnya dengan menekankan kata tidak suka lebih jelas lagi.

Gadis berkaos kuning cerah itu hanya bisa menunduk pasrah. Tangannya saling ditautkan dibelakang tubuh, semakin perih pula hatinya mendengar ungkapan sang pria yang dicintainya ini.

" ta,.. tapi aku menunggumu selama ini. Apakah itu sama sekali tak kau hargai? "
Gadis itu membuka suara. Lirih dan terdengar menyayat.

Setetes air mata jatuh berdebam di dinginnya trotoar. Angin berembus pelan membawa kedamaian di tengah sepinya kota malam ini.

Pria itu menarik nafas, lantas mengacak kepalanya yang terasa berat.

" bukankah sudah kukatakan jangan menunggu? Itu akan menyakitimu dan aku. "

" tidak,.. sungguh, aku tidak punya niatan secuil-pun untuk melukaimu. Aku hanya ingin menunjukkan betapa setianya aku. "

Suzy menarik nafas dengan tangan erat menggenggam map-nya. Suara isak tangis terdengar di belakang tubuhnya.

Apa pria itu tak tahu?
Bukankah wanita memang sukanya begitu? Menunggu dan kesetiaan adalah hal yang akan selalu dijunjung tinggi olehnya. Wanita dihadapannya ini misalnya. Dia bahkan telah mendengarkan sendiri, betapa pria di depannya amat sangat tak membutuhkannya.

Namun gadis itu tetap kokoh berdiri di hadapannya atas nama cinta. Gadis itu seolah pohon yang sudah mati dengan akar yang tetap kuat menembus dinding tanah pijakannya. Menjalar di dalamnya, menguatkan diri.

Setiap wanita selalu punya sumber semangat yang tak akan pernah dipahami oleh pria.

" aku mencintaimu,.. "

Akhirnya.
Terdengar pula pengakuan itu dari mulutnya. Kepalanya semakin tenggelam dengan rambut pendek hitam pekat sebahu. Suzy menolehkan kepala hendak menonton lagi ketika sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya sambil membunyikan klakson.

" hai, Sang Rim. "
Sapa Taehyung.

Menolehkan kepala, Suzy gelagapan lantas tersenyum simpul.

" apa yang tengah kau lihat? "
Tanya Taehyung. Laki-laki berambut coklat ini lantas mengeluarkan kepalanya dari dalam mobil namun yang didapatinya hanya sepi.

Suzy berdiri dan melangkahkan kaki mendekati Taehyung. Menyelipkan rambut panjangnya di belakang telinga, Suzy dengan sukarela menundukkan sedikit badannya agar lebih mudah berbincang dengan Taehyung dalam keadaan seperti ini.

" ada apa? "
Suara itulah yang muncul.

Menunggu beberapa saat, sebenarnya ada jutaan model sapaan yang terlintas di otaknya. Tapi kembali mengingat tentang surat kusam itu, entah mengapa semuanya langsung menguap. Bergantikan dengan rasa sakit dan perih yang mengikat kerongkongannya dengan kuat.

Hingga rasanya sulit bernafas.

Taehyung menegakkan posisi duduk dan tersenyum lebar.

Seolah pilihannya untuk melewati rute berbeda adalah pilihan yang tepat.

I Tresno Because Kulino ( Lee Minho ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang