"...serangan-serangan 'binatang buas' itu sudah berlangsung selama empat bulan terakhir. Seperti yang kita ketahui, para korban—yang semuanya meninggal—tidak mempunyai kesamaan di latar belakang mereka. Semua serangan itu juga tak memiliki pola, terkesan acak. Untuk membahas hal tersebut, kami menghadirkan narasumber..."
Sig mematikan radio di mobil Nate yang baru diklaimnya itu. Sambil memegangi keningnya, ia terus menyetir, memandang jalanan malam yang kosong. Usahanya mengusir kantuk dengan mendengar radio memang berhasil, tapi sekarang pertanyaan-pertanyaan itu justru kembali mendatangi kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya selama empat bulan terakhir ini.
Mungkinkah 'binatang buas' itu manusia serigala lain? Sama-sama eksperimen dari tabung kaca seperti dirinya? Apakah ini berarti ia tak sendiri lagi?
Helaan napas berat meluncur dari mulut Sig. Memangnya kenapa? Ada manusia serigala lain bukan berarti segalanya akan berubah. Misalkan berjuang agar manusia serigala itu berada di pihaknya, memangnya ia pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal? Bisa-bisa kejadian di masa lampaunya justru terulang. Sudah berjuang demi seseorang, ternyata yang didapatnya justru dusta. Dua kali pula. Pertama mengenai dirinya yang hanya hasil eksperimen. Kedua karena orang yang ia cintai ternyata telah menghabisi sahabatnya.
Sig membelokkan mobilnya ke sebuah gedung apartemen kumuh, parkir di halaman aspal bersama mobil-mobil lain. Ia meraih bungkusan kertas berwarna coklat di jok sebelahnya, kemudian turun. Baru akan berjalan menuju gedung, ia berpapasan dengan seorang wanita muda berwajah khas timur tengah. Menguap lebar, wanita itu menghampiri mobil kecil berwarna abu-abu.
"Hai, Ashe," sapa Sig, melayangkan senyum ramah.
"Mobil baru?" tanya wanita langsing, berkulit putih, berdagu sedikit lancip, serta berambut hitam panjang itu, mengangkat sebelah alis. Seperti biasa, ia berbicara dengan aksen yang unik. Sig sudah sering bertanya mengenai aksen tersebut, tapi wanita bernama Ashe itu selalu menghindar.
Sig melirik mobil yang baru dibawanya: sedan bercat putih yang dihiasi lukisan aksen-aksen tajam berwarna emas. Perpaduan yang tak akan dipilih Sig karena menurutnya terlalu norak. "Yah, bonus dari pekerjaan."
Pandangan wanita itu beralih ke tangan Sig. "Ah, sepertinya aku tidak akan bertanya lebih lanjut. Lebam di pipimu itu juga bonus pekerjaan, kan?"
Kembali tersenyum, Sig mengamati sisa-sisa noda darah di tangannya itu. "Mau ke mana, Ashe? Tumben keluar jam segini?"
"Yah, sebenci apa pun dengan dunia luar, kau tidak bisa memesan pembalut secara online." Ashe menghela napas. "Bisa sih, tapi jumlahnya harus banyak. Bisa-bisa lantai rumahku dipenuhi pembalut."
Tawa kecil terlontar dari mulut Sig. "Mungkin enak ya berdiam di kamar terus, tidak usah bertemu orang-orang yang menyebalkan."
Teringat Frederik dan Nate beserta cecunguknya, Sig merasa ubun-ubunnya seakan tersengat panas kembali.
"Tapi di dalam kamar tidak banyak yang bisa kau lakukan. Apalagi pekerja lepas sepertiku. Kerjanya duduk di depan komputer terus. Punggung dan bahuku jadi sering pegal."
"Mungkin sekali-kali kau ingin pergi ke suatu tempat?" Melebarkan senyumnya, Sig mendekati Ashe. "Misalnya, jalan-jalan ke..."
"Maaf, tidak tertarik," potong Ashe, memasuki mobil dengan senyum dipaksakan.
"Ayolah, apa kau tidak bosan...
Ashe buru-buru menutup pintu mobilnya. "Jawabanku tetap tidak."
"Hati-hati!" Sig melambaikan tangannya saat mobil itu mulai melaju.
Ini adalah penolakan yang kesekian kalinya bagi Sig. Sedikit meratapi kegagalannya, ia berjalan menuju pintu apartemen. Sebenarnya Sig tak terlalu menginginkan Ashe. Tak banyak yang Sig ketahui dari wanita itu, padahal mereka bertetangga. Hanya saja, dari pagi sampai malam, ia hampir tak punya kegiatan berarti. Panggilan bertarung dari Frederik pun hanya kadang-kadang saja. Ia tentu ingin keluar dari kemonotonan itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
WerewolfSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...