Mia memajukan tuas di kursi roda elektrik yang didudukinya. Dibarengi suara mekanis, kursi itu melaju ke depan, melewati sebuah lorong bercat putih. Wanita yang rambut ikal cokelatnya kini dipotong sebahu itu baru berhenti di depan pintu berwarna perak. Setelah memandang sejenak pantulan wajahnya yang mulai berkeriput meski usianya baru di awal tiga puluhan, ia mengeluarkan selembar kartu dari saku pakaian, berniat menggesekkannya ke alat di pintu itu. Namun, tangannya tak sampai. Ia berhenti terlalu jauh.
Tiba-tiba tangan lain muncul dan langsung mengambil alih kartu Mia. Mia menoleh ke samping ketika kartu itu digesekkan. Pria berdahi lebar dan berambut hitam klimis menyunggingkan senyum. Ia mengembalikan kartu Mia ketika pintu itu terbuka.
"Silahkan, Profesor," ucap pria bernama Luke itu.
Tak menjawab, Mia menggerakkan kursi rodanya lagi, memasuki sebuah laboratorium luas yang juga serba putih. Orang-orang yang ada di situ segera menghentikan pekerjaannya ketika melihat Mia.
"Bagaimana perkembangannya?" tanya Mia datar.
Luke yang berjalan di sebelah Mia mempertahankan senyumnya. "Subyek S17-X, S17-Y, dan S17-Z sudah bisa menuruti perintah yang kompleks..."
"Aku tahu," potong Mia cepat. "Itu ada di laporan yang kau berikan. Aku bertanya apakah ada hal-hal tak terduga setelah laporan itu dikirimkan kepadaku?"
Meski senyumnya masih terentang, Luke mengepalkan kedua tangannya erat-erat. "Sejauh ini belum."
Mia mengerem kursi rodanya di depan jendela transparan besar, memperhatikan ruangan lain dari sana. Di dalam ruangan yang berbentuk melingkar itu, berdiri tiga sosok manusia berkepala plontos dengan tatapan mata kosong. Dua lelaki dan satu perempuan, mengenakan pakaian hitam ketat yang menutupi tubuh sampai di atas lutut
"Seperti dalam laporan." Luke menekankan suaranya, menunjuk satu lelaki yang berwajah khas eropa. "Itu S17-X..."
"Yang perempuan Y," sela Mia sambil menunjuk si perempuan yang juga berwajah khas eropa, lantas ujung jarinya bergerak ke lelaki satunya yang bermuka oriental. "Dan itu Z. Kalau aku datang ke lab ini, kau selalu menyampaikan hal yang sudah ada dalam laporan. Buang-buang waktu saja."
Luke sedikit mendengus. "Ini karena pihak atas merasa Anda ini perlu mendapat pengarahan lagi, Prof. Anda kan jarang sekali datang ke lab ini dan lebih suka bekerja dari rumah..."
"Dan mereka menyerahkan 'tugas pengarahan' ini kepadamu yang bukan orang sains?" serang Mia. "Mungkin mereka sudah gila."
"Bagaimana kalau kita melihat performa mereka saja," ucap Luke cepat. Ia pun menoleh ke perempuan operator yang sedari tadi duduk di depan komputer.
Si operator mengangguk dan mendekatkan mulutnya ke mikrofon kecil di mejanya. "Sekarang, bertarunglah satu sama lain."
Subyek-subyek itu memasang kuda-kuda. Mereka pun mulai bertukar pukulan, tendangan, serta bantingan. Terkadang masing-masing terkena serangan, tapi selain sedikit melenguh kesakitan, ekspresi mereka tetap konsisten sepanjang pertarungan, begitu datar.
"Akhirnya penelitian ini berhasil setelah bertahun-tahun, Profesor," ujar Luke puas, melipat tangan di dada. "Mereka bisa menjadi prajurit yang efektif, sanggup menelusup dan melakukan misi-misi berbahaya. Rekan bisnis kita pasti sangat menyukai mereka. Tapi sayangnya, ganjalan kita adalah cara memproduksi mereka yang belum efektif dan efisien. Mencari wanita-wanita yang mau menyewakan rahim sangatlah sulit. Risikonya juga tinggi, bisa membuat heboh kalau tercium publik..."
"Tapi tanpa diriku, perusahaan ini tak akan bisa membuat mereka. Jadi, lebih baik menggunakan rahim wanita-wanita itu daripada tidak sama sekali," sela Mia, menyangga kepalanya dengan tangan, menonton pertarungan itu tanpa minat. "Bisakah kau meminta mereka berubah?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
WerewolfSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...