"Jadi ini yang namanya hotel?" tanya Val yang baru turun dari mobil, memandangi gedung berlantai lima berlatar belakang suasana malam. "Bagus juga, ya?"
Mengeluarkan kopernya dari bagasi mobil, Sig cuma memandang sekilas bangunan yang terdiri dari kamar-kamar yang menghadap ruang terbuka itu, kemudian berjalan menuju bangunan lain yang mirip rumah kecil, tapi dengan papan penanda resepsionis. Baginya tak ada yang menarik di situ. Semuanya serba standar, dari bentuk bangunan-bangunan yang ada, sampai warna putih catnya.
Menyadari Sig meninggalkannya, Val berlari-lari kecil. "Tunggu aku!"
Begitu memasuki bangunan kecil itu, Sig mendatangi meja resepsionis yang dihuni wanita tua gemuk bermata sayu.
"Ada apa?" tanya wanita itu, tak ada ramah-ramahnya sama sekali.
"Saya mau pesan kamar," jawab Sig.
"Satu tempat tidur besar atau dua tempat tidur? Berapa hari?"
"Dua tempat tidur. Satu hari saja."
Wanita itu mengambil satu kunci dari deretan gantungan yang dipajang di dinding, kemudian menaruhnya di atas meja. "Ini, kamar nomor dua lima, bayar sekarang."
Sig menoleh ke kertas penunjuk tarif di meja, kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyodorkannya ke wanita itu. Setelah mendapat nota sewa, ia pun berbalik, langsung berhadapan dengan Val yang tengah menganga lebar.
"Kau kenapa?" tanya Sig, mengerutkan kening.
"Dua tempat tidur?" tanya Val, suaranya sedikit sumbang. "Berarti kita tidur sendiri-sendiri?"
Kerutan di dahi Sig semakin kentara. "Tentu saja."
"Aku tidak pernah tidur sendirian di tempat tidur! Waktu mamaku sakit pun, ada Zada yang menemani aku!"
Sekarang si wanita resepsionis yang melongo.
"Kita kan masih sekamar." Sig menggaruk rambutnya, takjub dengan pertanyaan tak terduga Val.
"Tapi kan tetap saja kita tidur sendiri-sendiri! Nanti siapa yang akan memelukku?"
Sig memutar bola matanya, sementara si wanita resepsionis justru terbahak. Berusaha tak mengindahkan kelakuan layaknya anak kecil Val, Sig beranjak dari tempat itu.
"Kalau masih mau yang satu tempat tidur, kau masih bisa menukarnya," seru si wanita resepsionis. "Sayang, wanita itu ingin sekali ditiduri olehmu."
"Hei!" Val kembali mengejar Sig. "Hei!"
Terus mendengar panggilan dari Val, Sig menggertakan giginya. Sepertinya dia tak bisa mendiamkan wanita itu. Bisa-bisa dirinya terus dipanggili, membuat telinganya seperti sedang ditusuki.
"Asal kau tahu saja. Kalau tidak mempunyai kekasih, orang dewasa normal itu biasanya tidur sendiri-sendiri," terang Sig.
"Kekasih itu apa?"
Sig yang sudah akan menaiki tangga pun langsung mengerem kakinya. Ia mendongak, berusaha merangkai kata-kata yang tepat.
"Hei!!!" Val menghentak-hentakkan kakinya, benar-benar seperti bocah kecil.
"Kekasih itu orang yang kau cintai," jawab Sig akhirnya.
Val mengerjap-ngerjap. "Cintai?"
"Kau tak pernah lihat film romantis? Titanic? Twilight? La La Land?"
"Romantis?" Menelengkan kepala, Val mengerjap-ngerjapkan matanya. "Yang aku lihat cuma Happy Tree Family bersama mamaku."
Serta-merta Sig memegangi keningnya. Happy Tree Family? Kartun dengan karakter imut, tapi super sadis itu? Diperlihatkan kepada bocah berbadan dewasa yang tak tahu apa-apa ini? Mia benar-benar gila.

KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
WerewolfSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...