Hari sudah menjelang siang, tapi Sig baru saja sampai di rumah persembunyian Ashe. Ia membuka pintu mobil sambil menutupi mulutnya yang masih dihinggapi mual. Efek cekokan minuman dari Frederik tadi malam belum hilang sepenuhnya. Pusing masih bersarang di kepalanya dan lelah masih hinggap di tubuhnya.
Baru saja menjejakkan kaki ke tanah, ia mendengar bentakan-bentakan keras Ashe, diiringi isakan Valeria. Pintu rumah menjeblak terbuka. Valeria menyeruak keluar dengan linangan air mata, segera menghamburkan diri untuk memeluk Sig.
"Ada apa?" tanya Sig kepada Ashe yang juga ikut keluar.
Dengan mata melotot dan wajah memerah, Ashe berkacak pinggang. "Sudah kubilang, Arthur Bennet, ayah kita itu kurang ajar! Coba bayangkan, dia meninggalkan aku yang masih begitu kecil dan ibuku yang baru melahirkan tanpa uang sepeserpun! Dia beralasan kami ini menjadi penghalang dirinya menggapai mimpi, sehingga tak pantas mendapatkan uangnya!"
"Sudah cukup! Aku tak mau dengar!" Val buru-buru menutupi telinganya. Air matanya makin deras mengalir.
Sig membuka mulut. "Ashe, tenang dulu!"
"Ibuku tak bisa meminta bantuan kepada saudara-saudaranya. Mereka tak pernah merestui hubungan ibuku dengan orang kulit putih! Apa kau tahu betapa sulitnya hidup ibuku?" Cairan bening pun ikut meluncur dari mata Ashe. "Dia bekerja banting tulang hanya agar kami bisa makan... Aku sampai putus sekolah untuk menjaga adikku... Seorang Arthur Bennet itu bukanlah pria hebat seperti yang mamamu bilang..."
"Bohong!!!"
"Aku yang pernah hidup bersamanya! Akulah yang melihat dengan mata kepalaku sendiri ayah kita keluar dari rumah! Aku bertanya padanya dan dia tak menjawab! Setelah itu, aku tak pernah melihatnya lagi!" balas Ashe tanpa ampun. "Kau ini cuma mendengar dongeng dari mamamu! Mamamu itu tak bisa melihat borok ayah kita!"
"Ashe...," ucap Sig lirih, membenamkan kepala Val ke dadanya. "Umur Val ini masih bisa dihitung dengan jari. Sebagian darinya masih seperti bayi. Jadi, bisakah kau lebih lembut kepadanya?"
Ashe menghapusi air matanya dengan punggung tangan, berbalik menuju pintu rumah tanpa mengatakan apa pun.
"Sudahlah, Val." Sig mengecup kening kekasihnya itu. "Berhentilah menangis. Aku punya hadiah untukmu."
Val sedikit mundur, mengucek-ngucek matanya bak anak kecil. Dengan bibir bergetar hebat, ia bertanya, "Hadiah?"
Sig membuka pintu belakang mobilnya, mengeluarkan kotak yang terbungkus kertas kado merah mengilat, lengkap dengan hiasan pita merah muda.
Menelengkan kepala, Valeria menerima bungkusan itu. "Bolehkah aku membukanya?"
"Tidak didepanku." Sig tersenyum penuh arti. "Setelah kau tahu apa yang harus kau lakukan dengan hadiah itu, datanglah ke ruang belakang malam nanti. Tapi ingat, kau tidak boleh datang sebelum malam."
Setelah mengatakan hal itu, Sig mengeluarkan tas kain super besar dari bagasi belakang mobil. Belum bisa mencerna kata-kata Sig, Valeria cuma melongo.
"Yuk masuk. Aku lapar," ajak Sig, merangkul Val, berjalan menuju rumah.
"Memangnya ada apa di ruang belakang nanti?" tanya Val sambil memeluk erat hadiah pemberian Sig.
"Rahasia." Sig mengedipkan sebelah matanya jahil. "Setelah apa yang nanti kita lakukan di ruang belakang, kau boleh meminta hal luar biasa yang sangat kau sukai itu."
"Huh? Hal luar biasa yang..." Mulut Val mengatup. Ia buru-buru membuang muka.
Kembali mendapati semu merah di wajah kekasihnya, Sig terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
WerewolfSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...