Berdiri di sebuah tanah kosong, Sig berkonsentasi mengubah wujudnya. Segala pose telah ia coba, mulai dari berdiri biasa, merangkak meniru serigala, bahkan sampai menggeram bak orang gila. Namun, hasilnya tetap nihil. Tak ada satu bulu pun yang mencuat dari kulitnya. Ia masih saja berdiri dengan dua kaki.
"Coba ulangi lagi, bagaimana cara kalian berubah?" tanya Mia kepada dua orang yang sejak tadi berdiri memerhatikan di dekatnya.
"Kami cuma berpikir untuk berubah," ulang si manusia serigala wanita, yang kini memakai kaus, celana jeans, serta wig hitam bergaya bob pendek. Sejak pagi hari sampai sekarang sudah menjelang siang, ia terus saja mendengar pertanyaan itu.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Sig kepada manusia serigala satunya, lelaki berwajah oriental yang juga mengenakan kaus dan jeans, tapi kepala botaknya tak ditutupi apa pun.
"Kau bilang kami bebas melakukan apa pun sesuai keinginan kami," jawab lelaki itu dengan ekspresi datar. "Aku sedang merasa tak ingin menjawab pertanyaanmu."
Bukannya jengkel, Sig malah terkikik geli. "Kalian bosan, ya?"
Dua manusia serigala itu saling memandang. Tepat saat itu, perut si lelaki bergemuruh. Syaraf tawa Sig pun kembali terpantik.
"Maaf, aku lupa waktu." Sig mengusap peluhnya dengan punggung tangan. "Lebih baik kita makan dulu... Ah, ya. Kalian belum mempunyai nama... Bukan nama dari Fringe Global itu. Hmmm..."
Setelah beberapa menit berpikir dengan lagi-lagi diamati oleh dua manusia serigala itu, Sig menjentikkan jari.
"Kau Yvonne." Sig menunjuk si wanita, kemudian si pria. "Kau Shia. Kalian adalah adikku."
"Kenapa kau memilih nama itu?" tanya wanita yang kini bernama Yvonne.
"Kenapa kau menganggap kami adikmu?" Shia ikut bertanya.
Sig menghampiri mobilnya. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Aku sudah tidak sabar ingin menunjukkan berbagai macam hal kepada kalian."
Sig heran sendiri. Awalnya, ia mengira kehilangan kemampuan berubah dan berpisah dengan Val akan membekaskan luka yang begitu dalam di hatinya. Namun, ingat kalau dirinya kini bersama dua manusia serigala lain, masalah-masalah itu seperti tak begitu penting, bisa dipikirkan di lain hari.
Yvonne dan Shia saling berpandangan kembali, sebelum akhirnya mengikuti Sig. Masuk secara berbarengan ke pintu depan, keduanya langsung terjepit satu sama lain. Sig sampai berkedip-kedip mendapati kejadian absurd itu.
"Kalian berdua ingin duduk di depan, ya?" Sig merasa bersalah harus menahan tawa. Dua rekan barunya itu tak mengerti apa-apa dan sebenarnya tak pantas dijadikan lelucon. "Yah, lebih baik kalian duduk di belakang saja, kecuali ada yang mau mengalah."
"Peraturan lalu lintas memang melarang dua orang duduk di samping supir," ucap Yvonne.
Shia menarik tubuhnya. "Apa kau mau mengalah, Yvonne?"
"Tidak, Shia."
"Aku juga."
Mengamati keduanya berpindah ke kursi belakang, Sig mati-matian menekan urgensi tertawanya.
"Wow, kalian langsung menggunakan nama yang aku berikan," ceplos Sig, baru saja menyadari hal tersebut.
Lagi-lagi dua manusia serigala itu saling berpandangan.
"Karena aku langsung merasa perlu menggunakannya," terang Shia. "Aku sendiri juga tak mengerti mengapa diriku bisa seperti itu.
"Aku juga sama," sambung Yvonne.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
Hombres LoboSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...