Sambil mencengkeram celana jeansnya, Val menggerak-gerakan kakinya. Matanya yang sedikit melotot terus terarah ke depan, terhujam ke jalanan aspal yang masih sepi walau sudah diterangi cahaya siang.
"Hei, kenapa kau diam saja dari tadi?" tanya Sig yang tengah menyetir.
"Kau bertanya seperti itu dari tadi," timpal Val kaku.
"Dan kau tak pernah memberikan jawaban sedari tadi."
Bergerak layaknya robot, Val menoleh kepada Sig, hanya untuk memandang ke depan lagi beberapa detik kemudian.
"Kenapa, sih?" Sig kembali bertanya, mulai merasa khawatir. "Apa karena yang tadi malam? Apa aku menyakitimu? Kalau iya, aku minta maaf."
Val menggeleng keras. Begitu keras sampai wajahnya tertutupi rambutnya sendiri. "Bu... Bukan. Tadi malam justru.... Justru luar biasa... Tapi... Tapi... Argh! Aku sulit menjelaskannya! Belum pernah aku merasa semalu ini!"
"Kau tak menyukainya?" ledek Sig.
"Bukan.... Aku... Aku..."
"Mau lagi?'
Val memukul lengan Sig cukup keras, sampai memicu pria itu meringis kesakitan. Kemudian, Val membuang muka ke arah jendela. Melihat senyuman wanita itu terpantul di kaca, Sig menarik napas lega. Ternyata dirinya tak menyakiti wanita itu.
Sig melnoleh ke layar GPS. Perkebunan Blair tinggal beberapa meter lagi. Begitu melihat papan petunjuk perkebunan itu, ia membelokkan mobilnya ke jalanan tanah. Ia dan Val sedikit merasakan guncangan-guncangan karena kontur tak rata bercampur bebatuan
"Kita mau kemana, sih?" tanya Val.
"Apa karena terbayang-bayang yang tadi malam kau baru mengajukan pertanyaan itu sekarang?"
Val mendengus keras. "Lupakan!"
Sig tertawa geli, merasa puas melihat air muka Val. Ia tak sabar melihat ekspresi Val dan Kamala nantinya. Ia sudah merencanakan sesuatu untuk mereka.
Terus menyetir, Sig menempelkan ponselnya ke telinga. Hanya beberapa detik menunggu, ia sudah bisa mendengar suara Kamala.
"Sig? Kau sudah mau sampai?" tanya wanita itu.
"Iya, mobilku mulai disiksa oleh jalanan yang tak rata."
"Aku ada di rumah yang dindingnya belum disemen di tengah perkebunan..."
"Apa ini benar-benar perkebunan?" Sig sedari tadi memang hanya melihat hamparan rumput tinggi atau tanah kosong luas berwarna cokelat kehitaman. "Lebih seperti..."
Sambungan itu keburu ditutup oleh Kamala.
"Siapa wanita itu?" hardik Val.
Lagi-lagi Sig tertawa. "Kenapa? Kau cemburu? Tenang saja, aku tak akan melakukan seperti yang tadi malam bersama wanita lain."
"Bukan! Maksudku.... Argh!" Menyerah, Val cuma memberengut sambil melipat tangan di dada.
Sig sedikit mencari-cari, sekaligus mengendusi bau Kamala yang sudah tertangkap hidungnya. Begitu melewati salah satu tanjakan sedang, ia menemukan bangunan yang dimaksud Kamala: rumah bobrok berlantai dua dengan jendela-jendela yang disegel menggunakan papan kayu.
Sig memakirkan mobilnya, turun bersama Val, lantas melewati halaman penuh rumput liar. Sig kemudian mengetuk pintu rumah itu. Tak perlu waktu lama sampai Kamala membukanya dan melongok keluar. Wanita itu menengok ke kanan dan ke kiri, membuat rambut panjangnya yang dikucir ekor kuda bergoyang-goyang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
WerewolfSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...