Sehabis menjahit lukanya dan menguburkan dua saudaranya, Sig melajukan mobil kembali. Pintu jendela sengaja ia buka lebar-lebar demi masuknya angin malam, berharap aroma Valeria ikut terbawa di dalamnya. Namun, keberuntungan belum juga mendatangi Sig.
Sig melirik kaca spion. Seperti tadi siang, Shia dan Yvonne duduk kembali di kursi belakang. Tapi ada yang berbeda. Hilang sudah ekspresi datar mereka. Senyuman lembut terentang di bibir dua manusia serigala itu.
"Apa kalian akan menghantuiku juga?" tanya Sig, tertawa getir.
"Bagaimana aku menghantuimu kalau aku adalah kau?" Sekarang yang menempati kursi itu adalah Gwen.
Sig mendesah. "Apa kau akan menertawakan aku karena kegagalanku?"
"Itu berarti kau menertawai diri sendiri." Gwen digantikan oleh Arthur, yang kini terkekeh.
"Aku ingin berbicara dengan serigala itu."
Sig bisa melihat senyuman Jeff dan Lucy lewat kaca spion. Yakin serigala abu-abu itu tak akan muncul, Sig memilih untuk diam, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Sampai akhirnya, bau Val terendus olehnya.
Beberapa belokan, ia berhenti di depan sebuah toko yang tutup. Ia turun dan memasuki gang sempit. Di halaman belakang toko, ia menemukan Val dalam wujud serigala, tengah bergelung dengan mata terpejam.
Sig berjongkok dan membelai lembut kepala serigala itu. Si serigala membuka matanya dan langsung berdiri, memandang Sig sambil sedikit menelengkan kepala.
"Ayo," ajak Sig, sedikit tersenyum.
***
Sementara Sig membuka koper, Val mengamati kamar hotel yang baru dimasukinya. Pandangannya bergerak ke perabot-perabot kayu mengilat penuh ukiran, lampu-lampu redup berpenyangga kuningan di dinding, lapisan kayu-kayu mozaik berpelitur di tembok, sampai akhirnya tertumbuk ke sebuah dipan besar di tengah ruangan.
Val mendekati dipan berseprai putih bersih itu. Saat mengusapnya, kelembutan yang tak pernah ia rasakan menerpa telapak tangannya. "Tempat ini bagus sekali."
"Aku ingin mengajarimu sesuatu, jadi aku berpikir untuk memilih tempat yang tak biasa." Tersenyum kembali, Sig mendekati wanita itu.
Val duduk di dipan tersebut, kembali memandang berkeliling. "Mengajari? Mengajari apa?"
Sig terkekeh karena dugaannya benar. Wanita itu belum mengerti apa maksudnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku memilih kamar dengan satu tempat tidur saja?"
"Kenapa memangnya?" Val memandang Sig dengan kening berkerut.
Sig duduk menjejeri wanita itu. "Karena aku ingin mengajarimu."
Kerutan di dahi Val makin kentara. Ia menelengkan kepala, menunggu pria yang tersenyum jahil itu memberi jawaban lanjutan. Cuma mendapat senyuman dan sedikit kekehan, lama-lama muka wanita itu memerah. Kemudian, dengan gerakan perlahan dan kaku, ia membuang mukanya.
"Kau mengerti maksudku?" tanya Sig. Ekspresi wanita itu memberi kepuasan tersendiri baginya.
Memegangi kedua pipinya yang makin merona merah, Val menggeleng keras. "Aku tidak tahu! Entah kenapa wajahku jadi terasa panas dan jantungku tambah berdebar!"
"Sama kalau begitu. Jantungku juga tambah berdebar," timpal Sig, yang irama detak jantungnya juga sudah meningkat sejak memasuki kamar itu.
Val kembali mengernyitkan dahi saat menatap Sig. Namun, itu hanya sebentar, ia langsung mengalihkan mukanya lagi. "Lalu, kenapa sekarang aku tak bisa memandangmu!?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
VlkodlaciSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...