Diikuti dua saudara barunya, Sig melewati tempat parkir restoran siap saji itu, sedikit bersiul seolah tengah merayakan sesuatu. Aroma gurih ayam goreng yang sudah sering mampir di hidungnya, kini terasa lebih nikmat berkali-kali lipat.
"Selamat datang di restoran ayam goreng terenak negeri ini." Sig membukakan pintu untuk Shia dan Yvonne. Alih-alih masuk, dua manusia serigala itu justru berhenti dan memandangi Sig. Dengan senyum masih tersisa di bibir, Sig pun mengedip-ngedipkan mata, berpikir kalau mengajari mereka akan lebih menantang daripada dugaannya. "Masuklah, adik-adikku."
Begitu menapaki restoran berdekorasi merah putih itu, Yvonne dan Shia mengedarkan pandangan. Tak sabar lagi, Sig menarik mereka untuk mendatangi bagian pemesanan.
"Mau pesan apa, Pak?" sapa si pelayan wanita bertopi merah, memajang senyumnya.
Sig langsung memesan tiga porsi kentang goreng, tiga potong dada ayam, serta tiga gelas minuman bersoda. Saat sang pelayan mengambilkan pesanan, Sig mengajari Shia dan Yvonne cara makan di situ. Namun, hanya mendapat pandangan datar dari mereka, suara Sig lama-lama memelan.
Sig lalu menyuruh mereka mengambil tiga nampan yang diserahkan si pelayan. Setelah membayar, Sig mengajak dua saudara barunya itu menempati salah satu meja.
"Nah, sekarang kita makan," ucap Sig setelah memberitahu mereka cara mengambil saus. Ia pun mencuil ayam gorengnya, mencocolkannya sedikit ke saus tomat, lantas mulai makan. Semua gerakan itu ditiru persis oleh Shia dan Yvonne.
"Kenapa kita harus menggunakan sesuatu yang kental dan asam ini?" tanya Shia seraya mengunyah.
"Itu namanya saus. Kalau kau tidak suka, kau bisa pakai yang pedas, di keran sebelah kanan. Atau kalau masih tidak suka, kau bisa memakannya tanpa apa pun," terang Sig.
Shia menoleh ke tempat pengambilan saus, berdiri dan menghampirinya.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Sig kepada Yvonne.
"Sepertinya ini burung. Kandungan lemaknya terlalu berlebihan. Lapisan di luar kulit ini juga sebenarnya tak diperlukan," jawab Yvonne, mengamati ayam goreng itu. "Ini kurang baik bagi tubuh, tapi kenapa aku merasa perlu memakannya? Padahal, aku tak punya alasan apa pun yang mengharuskan aku memakannya."
Sig tersenyum tipis. "Coba kentang gorengnya."
"Dengan sesuatu bernama saus ini?"
"Terserah saja."
Yvonne mengambil satu batang kentang, mengamatinya sejenak, lantas mencocolkannya ke saus.
"Bagaimana? Apa kau juga merasa 'perlu' memakannya?" tanya Sig, langsung mendapat anggukan dari Yvonne. "Nah, itu artinya kau menyukainya."
"Menyukai, ya?" Yvonne kembali menikmati kentang gorengnya, meski dengan ekspresi yang masih datar. "Aku biasa mengonsumsi asupan yang kusedot dari sebuah wadah plastik. Nutrisinya selalu cukup dan rasanya tidak seperti ini."
Pikiran Sig melayang ke saat-saat dirinya masih disekap Fringe Global. Ia jauh lebih beruntung. Di lab dulu, ia mendapatkan jatah roti lapis, nasi, atau kentang tumbuk. Kendati rasanya tak bisa dibilang enak, tapi pasti jauh lebih baik dari apa pun yang Fringe Global berikan kepada Yvonne dan Shia.
Sambil membawa wadah berisi saus yang lebih merah, Shia duduk kembali. "Orang-orang langsung protes ketika aku mau mengambil saus ini setelah seorang anak melakukannya."
Sig menoleh ke tempat pengambilan saus. Ada beberapa orang yang berbaris menunggu giliran di sana. "Yah, ada peraturan tak tertulis di masyarakat, kau harus mendahulukan orang yang datang lebih awal. Itu namanya antri."
Menelengkan kepala, Shia mencuil ayam gorengnya dan mencocolkannya ke saus pedas. Begitu memasukkan potongan ayam itu ke mulutnya, ia langsung melotot, tak jadi mengunyah. "Kenapa lidahku seperti memanas?"
"Itu artinya kau kepedasan, Shia. Untuk menetralkannya, kau harus minum ini." Sig menunjuk minuman bersoda milik Shia.
Shia buru-buru menyedot minuman bersoda itu. Matanya pun kembali melotot. "Apakah aku boleh terus meminumnya walau sudah tidak merasa kepedasan?"
"Tentu saja," timpal Sig yang merasa kalau mengamati dua saudaranya itu lebih mengasyikkan daripada makan.
Yvonne memandangi Shia yang terus menyedot minuman itu, kemudian mengambil minumannya sendiri dan menyedotnya. Alih-alih menelannya, wanita itu justru menyemburkannya kuat-kuat.
"Kadar gulanya terlalu berlebihan dan lidahku seperti ditusuk-tusuk sesuatu yang kecil-kecil," ucap Yvonne dengan air soda yang membasahi sekeliling mulutnya.
"Gunakan ini untuk mengelap mulutmu...." Sig meneyrahkan selembar tisu kepada Yvonne.
Pertahanan Sig jebol. Tawanya lepas tak terkendali. Ia terus terbahak keras, bahkan sampai terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya yang kaku. Pengunjung lain pun langsung memperhatikan dirinya.
Yvonne terus mengelap mulutnya, sedangkan Shia masih saja menyedot sodanya. Lagi-lagi dengan ekspresi datar, keduanya mengamati Sig.

KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
WerewolfSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...