#16 Feeling

178 26 4
                                    

Sebuah lonceng kecil berdenting pelan ketika tersentuh pintu kaca yang dibuka Sig. Dibuntuti Val, ia berjalan menuju meja paling ujung di sebuah restoran dengan perabot berlapis plastik. Mungkin karena matahari belum terlalu tinggi, ia hanya menemui segelintir orang yang sarapan atau menikmati kopi.

Sig menempati sofa kecil oranye mengilat yang terkesan murahan. Val duduk di hadapannya, langsung membuang muka ke arah jendela, memandangi jalanan aspal yang sepi.

"Kau masih marah?" desah Sig. Sedari tadi ia seperti melakukan perjalanan bersama patung, yang tak mungkin bisa menjawab.

"Kan sudah kubilang aku tak bisa tidur sendirian di tempat tidur," rutuk Val akhirnya. Suaranya sedikit parau.

"Tapi buktinya kau bisa tidur pulas sampai pagi tanpaku," balas Sig.

Tak menjawab, Val mengubah haluan pandangannya ke televisi yang dipasang tinggi di dekat meja kasir.

"Jangan tinggalkan aku, Renee!" Televisi itu menayangkan seorang pria yang tengah mengejar mobil mewah.

"Deaaaan!" seru seorang wanita yang melongok lewat jendela mobil tersebut.

Film romantis itu berkali-kali Sig temui di televisi dan selalu berhasil membuat kelopak matanya berkedut. Akting pas-pasan, dipadu jalan cerita yang standar bahkan cenderung jelek membuat Sig ingin segera mengganti saluran televisi.

"Mau pesan apa?" Seorang wanita muda dengan dandanan menor dan memakai celemek mendatangi meja mereka, menaruh dua cangkir, kemudian menuangkan kopi hitam.

"Ah..." Sig melihat daftar menu yang dipajang besar-besaran di atas meja kasir. "Saya omelet dan bacon saja. Kau mau apa, Val?"

Lagi-lagi tak menjawab, Val justru memangkukan pipinya, terus memerhatikan televisi.

"Val?"

"Apa?" tanya wanita itu ketus.

"Kau mau makan apa?"

"Apa saja!"

Sig menggaruk rambutnya. Lama-lama ia ingin meremas pipi wanita itu. "Kalau begitu samakan saja dengan saya."

"Baik," jawab sang pelayan, beranjak setelah mencatat pesanan Sig.

Merasa percuma mengacak Val bicara, Sig memutuskan untuk mengecek berita lewat ponselnya. Seperti kemarin, ia tak menemukan artikel mengenai pembantaian di tempat persembunyian itu.

Jempol Sig berhenti mengusap-ngusap layar ponsel. Hidungnya menangkap aroma lavender bercampur mawar yang cukup menyengat. Beberapa menit kemudian, seorang wanita dengan rambut pirang yang ditutupi topi melongok lewat pintu, memasuki restoran, kemudian duduk di meja paling depan, memunggungi Sig.

"Kau mencium bau itu?" tanya Sig kepada Val.

"Hmmm? Bau apa? Penciuman dan pendengaranku tak sebaik subyek-subyek yang ada di lab," terang Val yang masih saja menonton televisi. "Aku ini janin manusia serigala pertama yang berhasil dibuat ibuku, jadi belum terlalu sempurna.... Hei, kenapa aku berbicara denganmu!?"

Val mendengus begitu keras. Kalau dalam suasana biasa, syaraf tawa Sig barangkali akan terpantik dengan kelakuan wanita itu. Namun, sekarang situasinya berbeda. Sedari kemarin, ia tak menangkap bebauan yang mencurigakan seperti ini. Hanya satu kesimpulan yang bisa ia dapatkan: bau itu adalah kode untuknya.

"Sebentar." Sig bangkit, menghampiri wanita bertopi itu dan duduk di hadapannya, mengambil posisi agar dirinya tetap bisa mengawasi Val.

Wanita pirang itu menurunkan topinya, memperlihatkan wajah khas asia yang Sig kenal.

Silent Moon Illusion [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang