Ketukan dari pintu depan langsung mengaktifkan kesadaran Sig yang tengah terlelap. Masih dihinggapi kantuk berat, ia bangkit dari kasurnya tanpa mau repot-repot menutupi tubuhnya yang cuma memakai celana pendek, berjalan menuju pintu dengan sesekali menguap.
"Astaga! Tolong pakai bajumu dulu." Ashe langsung memalingkan mukanya begitu Sig membuka pintu.
Masih dengan mata menyipit, Sig nyengir. Ia baru pernah mendapati pipi Ashe merona merah. "Memangnya kenapa?"
"Pokoknya pake bajumu, tolong." Ashe meringis, masih belum berani menatap otot-otot Sig.
"Ada perlu apa, Ashe?" Berpura-pura tak peduli, Sig balas bertanya. Ia merasa kelakuan Ashe itu cukup imut. "Hei, aneh rasanya kalau aku mengobrol dengan orang yang tak menatapku."
Ashe menghela napas, menatap wajah Sig, kemudian berkata cepat, "Tuan dan Nyonya Handler mengundangku ke pesta anaknya nanti malam. Kau tahu kan, aku belum ada setahun tinggal di apartemen ini, jadi sebelumnya tak pernah diundang... Hei, kau hidup hanya dengan seperti ini?"
Wanita itu melongok melewati bahu Sig, mengamati ruangan yang hampir kosong, hanya diisi satu sofa panjang hitam dan televisi layar datar yang dipajang di dinding.
Sig sedikit bergeser, memberi jalan untuk Ashe. "Yah, ada kulkas dan kompor di dapur, lemari dan dipan juga aku punya."
Dengan mulut sedikit menganga, Ashe memasuki ruangan Sig. Kenyataan bahwa mereka bertetangga, tapi Ashe tak pernah melihat ruangannya membuat Sig tersenyum geli. Begitu tertutupnya kah wanita itu sampai tak tahu keadaan di sekitarnya?
"Mau minum apa? Maaf, tidak ada alkohol," tawar Sig, menutup pintu.
"Tidak usah... Kenapa kau menutup pintunya?" tanya Ashe, sedikit bergidik dan melotot.
Sig kembali membuka pintu ruangannya. Menurutnya, wajar saja kalau dirinya menutup pintu bila ada yang bertamu. Dia tak punya maksud apa-apa. Barangkali karena dirinya bertelanjang dada, jadi Ashe berperilaku seperti itu.
"Jadi, kenapa dengan ulang tahun anak Jeff?" tanya Sig lagi.
"Tolonglah, pakai bajumu dulu.... Argh!" Ashe sedikit menatap ke bawah. "Aku belum pernah datang ke ulang tahun anak kecil, jadi aku tidak tahu hadiah apa yang bagus untuk diberikan. Aku minta tolong kepadamu untuk menemaniku membelinya."
"Kau tertarik dengan pahaku, ya? Atau tertarik dengan hal lain di bagian bawah tubuhku?"
Ashe kembali mendongak. "Kurang ajar!"
"Oke, aku terima ajakan kencan ini. Kita pergi nanti siang, sekalian makan." Semakin ingin meledek, Sig maju mendekati Ashe sampai jarak mereka tinggal beberapa senti.
"Ini bukan ajakan kencan! Dan buat apa makan siang segala? Lebih baik kita langsung pulang setelah membeli hadiah!" Masih mendongak, Ashe mundur sampai hampir tersandung sofa.
"Terserah, tapi aku akan tetap menganggapnya kencan. Dan kita akan tetap makan siang, kalau tidak buat apa aku menemanimu?"
Ashe langsung memegangi keningnya. "Oke, tapi hanya sebatas itu saja."
Sig terkekeh melihat sisi Ashe yang seperti ini. Namun, sedetik kemudian dirinya justru mematung. Mungkin karena kantuknya sudah jauh berkurang, ia baru sadar hidungnya telah menangkap aroma samar yang tak asing. Sebuah anyir khas yang sumbernya cuma satu.
"Ada apa, Sig?" tanya Ashe, memperhatikan Sig yang tengah mengendus.
"Darah," gumam Sig.
Biasanya, Sig tak akan heran. Ruangan Jeff kadang menguarkan bau seperti itu. Pasiennya yang kebanyakan orang bawah tanah sering datang dengan luka-luka. Namun, kali ini ada yang berbeda. Di antara bau itu, terselip sesuatu yang lain. Hal yang mirip dengan aroma tubuhnya, seperti manusia tapi tercampur dengan bau makhluk liar berbulu.
Sig tak peduli dengan berita-berita serangan 'makhluk liar' di media massa. Namun, dengan mencium aroma seperti ini, interval degup jantungnya pun meningkat drastis.
"Sig?" Ashe melambai-lambaikan tangannya di depan muka Sig.
Tiba-tiba saja, Sig berlari. Tanpa ia ketahui penyebabnya, sebuah dorongan untuk mengikuti aroma itu muncul di kepalanya.
"Hei, kau mau ke mana dengan pakaian seperti itu!?" Ashe berusaha mengejar, tapi Sig keburu berlari di lorong.
"Hei!" panggil Ashe lagi, berlari menghampiri Sig yang kini menunggu lift.
Karena lift tak kunjung datang, Sig mengubah haluannya menuju tangga. Awalnya, ia turun dengan cara biasa. Namun, karena sudah begitu ingin mengetahui apa yang terjadi, ia mulai melompat-lompat, melewati beberapa anak tangga sekaligus dalam sekali hentakan kaki.
"Astaga!!!" Ashe yang masih mengikuti langsung membelalak saat melihat gerakan Sig yang mirip pemain akrobat.
Di lantai dasar, ia langsung merangsek keluar, berlari menembus udara pagi yang masih cukup menusuk, tanpa memedulikan gesekan-gesekan permukaan kasar trotoar di telapak kaki telanjangnya atau pandangan heran orang-orang atas penampilannya.
Beberapa meter berlari, Sig berbelok di sebuah persimpangan. Pandangannya langsung menangkap kerumunan orang di dekat sebuah gang kecil. Ia pun memperlambat larinya, sebelum akhirnya berhenti di dekat kerumunan itu.
"Siapa yang diserang?" tanya seorang penonton pria.
"Tuan Devitt, pemilik tempat potong rambut itu. Katanya dia baru pulang dari bar," jawab penonton pria yang lain.
Begitu melongok di antara kerumunan, Sig menemukan garis polisi kuning sudah dipasang di mulut gang. Telinganya juga mendengar suara tangisan histeris dari kumpulan orang itu.
Dua petugas berompi hijau muda keluar dari gang dengan membawa kantong jenazah kuning. Seorang gadis muda menyeruak dari kerumunan, berusaha mendekati kantong jenazah itu, tapi petugas lain langsung menahannya.
"Ayaaaahhhh!!!" pekiknya keras.
Sig mundur beberapa langkah. Jantungnya seperti baru dirajam ribuan jarum. Bukan saja karena dirinya adalah langganan tuan Devitt, tetapi juga gara-gara tangisan sang gadis, yang merupakan anak si korban. Kehilangan seseorang, apalagi dengan cara tragis seperti itu, bukanlah sesuatu yang bisa dihadapi dengan mudah.
Ia pernah mengalaminya, ketika kehilangan sahabat terbaiknya, Viktor.
Ashe berhenti di sisi Sig, membungkuk sambil mengatur napas. "Ada apa ini?"
Tak menjawab, Sig berbalik meninggalkan tempat itu.
"Kau ini kenapa, sih?" keluh Ashe, tak berniat mengikuti Sig lagi.
Barangkali Sig bisa melakukan sesuatu. Tapi ia berpikir: untuk apa? Memangnya hal itu akan berpengaruh langsung ke kehidupannya? Bisa-bisa dirinya malah menarik perhatian Fringe Global, pihak yang terus ia hindari selama tiga tahun ini.
Maaf, ada masalah teknis, jadi baru bisa update sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
WerewolfSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...