Di dalam kamarnya yang hanya dicurahi cahaya senja, Mia memiringkan ujung botol wiski ke mulutnya. Satu tetes berhasil jatuh membasahi lidahnya. Hanya itu. Walaupun ia menggoyang-goyangkan botol, tak ada lagi wiski yang mengalir.
"Zadaaaaa....," panggil Mia dengan suara parau. Ia memejamkan mata, menikmati sensasi melayang yang sudah begitu kuat hinggap di kepalanya. "Ambilkan aku wiski lagi!"
Tak kunjung mendapat sahutan, ia memanggil lagi. "Zadaaaaa!!!"
Lagi-lagi tak dijawab, Mia sudah akan berteriak kembali. Namun, ia langsung ingat kalau tadi dirinya tak mau repot-repot memanggilkan ambulans untuk bawahannya itu, bahkan memberi pertolongan pertama pun tidak ia lakukan. Barangkali Zada sudah memanggil ambulans sendiri atau pingsan kehabisan darah.
Mia mengamati label di botol itu. Merk yang disukai Arthur. Kepalanya pun mulai memanggil memori saat-saat pria itu membuka hati kepadanya.
"Arghhhhh!!!" Sekonyong-konyong, Mia membanting botol itu ke lantai, membuatnya berubah wujud menjadi kepingan-kepingan kaca yang terpisah. Air matanya mulai mengucur, tapi mulutnya justru tertawa-tawa. Menertawai dirinya sendiri yang sudah tak punya apa-apa.
Orang yang dicintainya sudah tiada. Jalannya membalas dendam sudah tertutup. Putri satu-satunya telah pergi. Harta dan kedudukan? Ia tak tertarik sama sekali.
Pintu kamar itu bergerak dibarengi derit pelan. Dua orang pun masuk. Dengan pandangan yang mengabur karena mabuk dan penerangan yang minim, Mia harus menyipitkan matanya untuk mengecek siapa mereka. Namun, yang terlihat olehnya hanya siluet. Setelah salah dari mereka menyalakan lampu, mata Mia baru bisa menangkap wujud dua orang itu dengan jelas.
"Luke? Theo?" Mata Mia mengerjap-ngerjap, belum siap menerima cahaya lampu. "Sepertinya Luke membayarmu lebih ya, Theo?"
"Mantan anak buahmu ini baik sekali. Mau mengantarkanku ke sini," jawab Luke enteng
Setelah melongo sejenak, Mia terkekeh. "Hei, apa kalian punya wiski?"
Dengan pandangan dingin, Theo menodongkan pistol berperedamnya kepada Mia. Bukannya takut, Mia justru melanjutkan kekehannya. Seolah pistol itu hanya sebuah lelucon murahan.
"Aku mau bicara dengannya sebentar," kata Luke, menahan tangan Theo agar tak menarik pelatuk.
"Kau telah mencuri pegawaiku, Luke," racau Mia lagi, suaranya makin tak jelas, mirip orang berkumur.
Tersenyum tipis, Luke mendekati wanita itu. "Mia Alvarez, dikaruniai otak jenius, menjadi aset berharga bagi Fringe Global."
Kekehan Mia tak kunjung berhenti.
Luke duduk di dipan, menghadap kursi roda Mia. "Namun, yang ada di otaknya hanya pembalasan dendam untuk Bapak Germonya."
Kekehan Mia langsung terputus. Wajahnya yang sudah merah, kini mirip kepiting rebus. "Arthur mencintaiku!"
"Yah, aku tak peduli dengan cerita cinta kalian yang menjijikkan itu." Luke melebarkan senyumnya, menggambarkan kepuasan kuat di batiinya. "Hei, aku ingin bercerita kepadamu. Apa kau tahu? Dulu aku hidup dalam rumah kumuh dengan lima saudaraku."
Memandang kosong, Mia melongo kembali.
"Kakakku akan mewariskan baju ke adiknya, adiknya mewariskan baju ke adiknya lagi. Sebagai anak bungsu, aku selalu kebagian baju yang jelek sekali. Kemisikinan itu tidak enak, Profesor. Aku berjuang keras untuk keluar dari kehidupan hina itu. Tanpa memedulikan sepatuku yang bulukan, tasku yang penuh tambalan, pandangan rendah orang-orang, atau perut lapar, aku terus berjuang, belajar keras, mengejar beasiswa, kuliah, menjaga perilaku dan pergaulan, sampai akhirnya diterima oleh salah satu perusahaan terbaik di dunia ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
WerewolfSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...