Kalau saja dirinya tak buru-buru membawa Will dan Val untuk bersembunyi, mungkin ia bisa menyelamatkan Jeff dan Lucy. Kalau saja dirinya tak melibatkan suami istri itu, ia tak perlu menuntun Will menuju rumah saudara Lucy seperti sekarang ini. Kalau saja dirinya tak mengenal Jeff dan Lucy, barangkali pasangan suami-istri itu masih hidup dan bisa bermain-main dengan Will. Kalau saja.
Sayangnya, semua telah terjadi. Dalam langkahnya bersama Sig di sebuah pelataran luas, Will membisu. Matanya yang sembab cuma menatap kosong. Tak ada lagi bibir yang maju karena jengkel. Tak terlihat lagi keceriaan khas anak kecil.
Sig berhenti di depan rumah sederhana bercat putih. Hunian yang hampir identik dengan hunian-hunian lain di perumahan itu: berlatar luas dengan hamparan rumput serta beraksitektur minimalis.
Setelah memencet bel rumah itu, Sig menunggu, sama sekali tak menatap Will. Sig tak sanggup. Dirinyalah dalang kehancuran hidup anak itu.
Terdengar suara langkah tergopoh-gopoh dari dalam rumah. Kemudian, seorang wanita berambut hitam sebahu membukakan pintu. Sig agak terkesiap. !a seperti sedang melihat Lucy versi lain, dengan tubuh sedikit lebih subur, wajah yang dihiasi kerutan samar, dan tangan minus tato.
"Will? Apa kau datang bersama orangtuamu?" Wanita itu menyambut dengan ramah. Ia sedikit melongok ke arah jalan, kemudian menatap Sig. "Maaf, Anda siapa?"
"Apakah Anda kakak dari Lucy Handler?" tanya Sig, membulatkan tekad.
"Iya." Alis wanita itu menaut.
Sig berdehem pelan. "Saya diperintahkan untuk membawa Will ke sini bila kedua orangtuanya mengalami sesuatu."
Perlahan, mata wanita itu membelalak. Ia pun mundur, menutupi mulutnya, mulai terisak. "Ooh, Lucy, Jeff..."
Isi perut Sig seperti sedang dibetot. Ia ingin kabur saja dari tempat itu.
***
Di ruang tamu yang hanya diisi sofa-sofa cokelat muda, meja kaca, serta foto-foto keluarga di dindingnya, Sig bercerita. Kata-kata Sig diiringi oleh isakan wanita pemilik rumah. Tak ada yang disembunyikan. Sig merasa keluarga Lucy berhak tahu semuanya. Mulai dari misinya mengejar serigala putih itu, sampai serangan dari pasukan khusus tak dikenal.
"Jujur saja, cerita Anda sulit dipercaya, Tuan Anders," ucap kakak Lucy, memejamkan mata, lalu menghela napas.
"Yah, memang begitulah adanya, Nyonya Farelly," balas Sig yang duduk di hadapan wanita itu. Barangkali ini adalah obrolan terberat dalam hidup Sig. "Anda berhak menyalahkan saya. Saya benar-benar minta maaf."
Kedua alis nyonya Farelly terangkat. "Menyalahkan Anda? Tidak, Tuan Anders. Jeff dan Lucy sendiri yang memutuskan untuk mengikuti Anda. Lagipula, saya yakin Anda ini orang baik. Buktinya Jeff dan Lucy memercayakan Anda untuk membawa Will ke sini bila terjadi sesuatu. Ah, Lucy juga pernah cerita, Anda kan yang menyelamatkan Will saat akan tertabrak bus?"
Kata-kata itu seolah menyengat mata Sig, membuatnya panas dan berembun.
"Dan Sig juga telah menyelamatkan aku dari penyerang itu, Bibi." Will yang sedari tadi diam akhirnya buka mulut.
Nyonya Farelly mengusap-ngusap kepala si keponakan yang duduk di sampingnya. Wanita itu lalu berdiri, mengambil satu bingkai foto berukuran sedang dari dinding, lalu menunjukannya kepada Sig. Sig pun menerima bingkai berisi foto satu keluarga itu.
"Ayah kamilah yang mengajari saya dan Lucy untuk menjadi pembunuh bayaran," terang nyonya Farelly, sedikit parau. "Kata beliau, ini adalah pekerjaan turun-temurun yang tak bisa dihindari. Harus saya akui, ayah kami memang agak gila."

KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
WerewolfSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...