#12 The Outfit

161 24 0
                                    

"Mama! Papa!" Will berteriak dalam gendongan Sig.

Sambil menarik tangan Val, Sig berlari ke area belakang rumah, membuka pintu ruang bawah tanah di lantai, kemudian cepat-cepat menguncinya dari dalam, menuruni tangga, dan menyalakan lampu. Sehabis menurunkan Will, ia mencekik Val dan mendorongnya sampai menempel di tembok.

"Apa ibumu yang mengirim mereka!?" serunya ganas di hadapan muka wanita itu.

Tak sempat menangkap selimut yang melorot dari tubuh telanjangnya, Val memegangi tangan Sig yang makin kuat mencengkeram lehernya. "A... Aku tak tahu."

"Sig... Sudah... Aku takut... Tolong papa mamaku...," isak Will, menarik-narik baju Sig.

Sadar telah menambah kadar ketakutan bocah kecil itu, Sig melepaskan cekikannya, membiarkan Val jatuh berlutut sambil terbatuk-batuk. Tanpa ampun, Sig memukul tengkuk wanita itu, membuatnya tersungkur tak sadarkan diri.

Mencari-cari sebentar, Sig menemukan sebuah lemari besar yang reot. Baru saja akan mendekati lemari itu, telinganya menangkap suara obrolan dari atas pintu ruang bawah tanah.

"Sepertinya pintu ini menuju bawah tanah."

"Bryan, bawa kapaknya ke sini!"

Sig buru-buru menggendong Will dan menaruhnya ke dalam lemari.

"Kau sembunyi di sini saja, ya. Aku akan selamatkan mama-papamu," bisik Sig cepat.

Will tak sanggup membendung air matanya. "A... Aku takut Sig."

"Kau suka Captain Emerald, superhero itu, kan? Aku cuma meminta kau untuk menjadi seperti dirinya yang tidak mengenal takut," bujuk Sig, berusaha tak memedulikan bunyi kapak yang beradu dengan pintu ruang bawah tanah. "Dan jangan menangis, nanti mereka mendengarmu."

Mematung beberapa saat, Will akhirnya mengangguk sambil mengusapi air matanya. Sig mengucek-ucek kepala bocah kecil itu, menutup pintu lemari, lantas merubah wujudnya. Tak ada kompromi lagi. Sebenci apa pun dengan wujud serigalanya ini, kalau demi menyelamatkan Jeff dan Lucy, ia tak keberatan.

Dengan keempat kakinya, Sig berlari menuju pintu ruang bawah tanah yang engselnya mulai lepas, kemudian menabraknya dengan kencang. Seketika saja, pintu itu menjeblak lepas. Ia pun langsung menerkam pundak anggota pasukan khusus yang mengangkat kapak. Setelah itu, ia berubah menjadi manusia lagi sembari menghindari tembakan, menangkis pistol yang ditodongkan kepadanya. Terakhir, ia menghantamkan kepala sang penodong ke tembok.

Si pemegang kapak berusaha bangkit, tapi langsung tak sadarkan diri begitu Sig menendang kepalanya keras-keras.

Menggunakan bentuk serigalanya kembali, Sig melesat ke ruang tengah. Menangkap obrolan lagi dari sana, ia menyembunyikan dirinya di balik tembok.

"Apa kau yakin akan menghabisi mereka? Mereka kan tidak ada di daftar."

"Sudah kubilang, mereka sudah menjadi saksi semua ini. Tuan Anderson berkata tak masalah kalau ada korban tambahan. Bos Gallows juga sudah memberi izin."

Sig mengintip, memperhatikan tubuh Lucy dan Jeff yang tergeletak di lantai dengan berlumur darah, sedikit menggeliat dan merintih. Sig pun keluar, tepat ketika dua anggota pasukan khusus menodong kepala suami-istri itu dengan senapan.

Begitu desingan dari senapan-senapan bergaung, Sig melolong dalam larinya. Tak berpikir lagi, ia menerkam leher salah satu anggota itu, lantas segera beralih menggigit kaki anggota satunya.

Hanya ada satu kata di pikiran Sig saat ini: serang.

Anggota-anggota lain mulai berdatangan. Sig terus bergerak, menghindari peluru dan sabetan pisau, menubruk, menggigit, menerkam, bahkan mengoyak dengan taring-taringnya. Semua itu ia lakukan hampir tanpa jeda. Para anggota tumbang satu-persatu, merintih karena luka atau kehilangan bagian tubuh, bahkan ada yang sudah tak bergerak.

Darah membanjiri lantai rumah itu, menutupi warna pelitur kayu, menggantikannya dengan merah.

Sehabis menarik isi perut salah satu korban dengan taring-taringnya, Sig berjalan mondar-mandir, terus menggeram ganas. Menyadari kalau tak ada lagi tubuh yang bernapas, ia pun melolong keras.

***

Memegangi tengkuknya yang masih agak nyeri, Val bangkit dengan sedikit sempoyongan. Ia pun menggeleng-gelengkan kepala untuk mengumpulkan kesadaran. Ia sedikit berjengit ketika menyadari bau anyir kuat sudah hinggap di hidungnya.

Merapatkan selimut di tubuhnya yang masih saja telanjang, ia menaiki tangga, melewati pintu ruang bawah tanah yang rusak, lantas melompati satu anggota pasukan yang tak sadarkan diri. Di dapur, kakinya menapaki genangan cairan yang hangat. Ia berhenti dan menengok ke bawah, mengamati becekan darah yang mulai mengaliri lantai kayu. Seperti tak peduli, ia meneruskan langkahnya. Sesampainya di ruang tengah, ia melompati mayat-mayat pasukan khusus yang bergelimpangan.

Ia kembali mengerem langkahnya saat melihat Sig yang tengah berlutut di dekat mayat pria gendut dan wanita berlengan penuh tato. Tubuh Sig yang juga telanjang hampir berwarna merah seluruhnya, seolah darah-darah itu sudah menjadi busananya.

Val mendekat. Mendapati aliran air mata di pipi pria itu, ia menelengkan kepala. Makhluk yang mamanya bilang luar biasa jahat itu bisa menangis? Apa karena dua orang yang mati itu begitu berharga bagi Sig? Sama seperti mamanya yang juga berharga bagi dirinya?

"Sekarang coba bayangkan, bagaimana kalau mamamu yang dibunuh seperti itu?"

Perlahan, mulut Val menganga. Jantungnya seperti baru saja dihujam tombak. Ya, bagaimana kalau mamanya mati? Val tak mau mamanya mati. Siapa yang akan memberinya hadiah? Siapa yang akan bercerita mengenai kehebatan papanya? Siapa yang akan memeluknya ketika dirinya sedih? Siapa yang akan menyayanginya?

Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya, tak mau pikiran buruk itu mengganggu misinya. Ia menyeringai, siap untuk berubah, hendak menyerang Sig. Namun, otaknya justru dilewati bayangan momen ketika Sig melindunginya dari pistol wanita bertato.

Apakah orang ini benar-benar jahat? Kalau memang jahat, kenapa dia malah melindungi dirinya? Dua pertanyaan itu mencengkeram otak Val.

"Jeff, Lucy. Maafkan aku," lirih Sig.

Isakan Sig seperti merasuk ke dada Val. Ketika menangis, dirinya akan dipeluk atau mendapat belai lembut dari mamanya. Lalu, siapa yang akan memeluk atau membelai pria itu?

Val sedikit tersentak. Ia tak mengerti arti pikirannya barusan. Apakah dirinya tak ingin pria itu menangis? Apa dirinya tak rela pria itu sedih? Memangnya pria itu siapa?

Tak kuasa menahan perasaannya, Val berlutut di sisi pria itu. Perlahan, ia menarik kepala Sig sampai berbaring di pangkuannya. Sig yang tak mengerti cuma bisa melongo. Dan yang lebih aneh, ia tak kuasa melawan.

Val mulai membelai lembut kepala Sig. Sepertinya memang benar, hatinya tak ingin Sig menangis.

***

Sig menuruni tangga ruang bawah tanah dengan pakaian lengkap. Walau bau anyir masih menguar darinya, paling tidak kulitnya tak dihiasi darah, walau cuma setetes. Ia tak ingin meninggalkan bayangan buruk di otak Will.

Di depan lemari persembunyian Will, ia menarik napas dalam-dalam. Sempat terpikir olehnya untuk menyembunyikan fakta yang terjadi. Namun, itu hanya akan menguntungkan dirinya, yang tidak ingin melihat kehancuran hati Will. Tapi mau sampai kapan? Will hanya akan terkungkung dalam ilusi orangtuanya masih hidup.

Ya, lebih baik Will tahu sekarang.

Membulatkan tekad, Sig berjongkok, mengetuk lemari itu. "Ini Sig, Will. Aku buka, ya."

Will langsung memeluk tubuh Sig ketika pintu itu dibuka. Sig mengelus punggung bocah itu sejenak, melepaskan pelukannya, kemudian tersenyum lebar.

Sembari membelai kepala si bocah cilik, Sig berucap, "Will, dengar..."

Silent Moon Illusion [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang