#5 Name

271 34 1
                                    

Di sebuah restoran dengan dinding berlapis anyaman bambu, Sig mengaduk-ngaduk nasi gorengnya. Ashe yang duduk di hadapan pria itu dan baru saja menghabiskan makanannya pun menghela napas.

"Oke, aku berusaha tidak peduli, tapi dari mencari hadiah sampai sekarang, kau melamun terus. Ada apa sih sebenarnya? Padahal, kau sendiri yang mengajakku makan siang," ujar wanita itu, melipat tangan di dada.

Sig buru-buru menyunggingkan senyum. "Restoran pilihanmu ini bagus."

"Kau mengalihkan pembicaraan?" Ashe mengangkat sebelah alis.

"Kau wanita unik, ya? Biasanya, kalau seorang wanita akan jalan berdua dengan pria, dia akan memakai pakaian terbaik. Tapi lihatlah dirimu, tetap memakai kemeja lengan panjang kotak-kotak dan celana jeans, tak berbeda dengan penampilanmu sehari-hari. Bahkan aku tak tahu wajahmu itu memakai make-up atau tidak...."

Lama-lama suara Sig tenggelam, seiring dengan Ashe yang menyipitkan mata.

"Ah... Maaf, kejadian tadi pagi mengganggu pikiranku." Sig mengusap mukanya, terdiam untuk beberapa detik sambil menerawang ke arah jendela kaca, baru kemudian bertanya, "Hei Ashe, apa kau pernah kehilangan orang terdekat?"

Ashe memejamkan mata, membisu sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Pernah, ayahku sudah tiada. Walaupun dia bukan ayah terbaik karena terlalu sibuk dengan pekerjaan, tapi kau tahu... Yah, dia tetap ayahku."

"Menyedihkan, bukan? Orang yang menjadi bagian dari hidupmu tiba-tiba menghilang. Kau tidak bisa melihatnya, tak bisa berbicara dengannya lagi. Dirimu seperti... Kehilangan bagian dari tubuhmu sendiri, terasa begitu janggal, seperti ada yang kurang. Ada bagian yang kosong."

"Ya, itu yang kurasakan setelah ayahku meninggal. Kami memang terpisah jauh, tapi terkadang dia masih menghubungiku, walaupun panggilannya selalu berakhir dengan aku yang marah-marah." Ashe menunduk, sedikit mencondongkan badannya ke Sig, lantas menghirup napas dalam-dalam. "Begitu mendapat kabar kalau dia meninggal di negeri ini karena kecelakaan, aku tak bisa memercayainya. Bayangkan, mereka mengirim peti jenazah yang disegel dan tak boleh dibuka."

Ketika Ashe membisu lagi, Sig ikut terdiam. Sig merasa ada yang mengganjal dalam cerita wanita itu, tapi dia sendiri belum bisa menemukannya.

"Akhirnya aku nekat membuka peti itu," lanjut Ashe, menyeka cairan bening di ujung matanya. "Di dalamnya memang ada jenazah, tapi wujudnya sudah tak karuan. Mereka berusaha memperbaikinya, tapi itu tak banyak membantu. Bahkan mungkin jenazah itu bukan ayahku. Mungkin dia orang lain."

Sig merasa tubuhnya seperti dialiri air dingin ketika aksen Ashe berubah. Aksen itu jelas berasal dari Amerika, mirip sekali dengan cara bicara seseorang yang dulu dikenal Sig. Dan itu bukan Jeff.

"Akhirnya aku pun meretas perusahaan tempat ayahku bekerja..." Ashe tercekat, suaranya kini parau.

"Fringe Global," sambung Sig, tak sanggup menatap mata Ashe.

"Dari situ aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ayahku, Arthur Bennet, dibunuh oleh subyek ciptaannya sendiri."

Mendengar kembali nama orang yang dulu ia cabik-cabik sampai mati itu, Sig cuma bisa mematung. Keheningan pun menyelimuti keduanya. Di restoran yang sepi pengunjung itu, cuma terdengar isakan tertahan Ashe.

"Bagaimana kau bisa tahu tempat tinggalku?" Sig baru bisa bertanya ketika air mata Ashe tak lagi mengucur.

"Aku cuma mengira-ngira pekerjaan apa yang akan dilakukan olehmu—seseorang yang tak jelas asal-usulnya—selain jadi gelandangan. Kemudian, aku mulai mencari informasi di sekitar tempat dirimu terlihat terakhir kali. Sebenarnya aku pesimis karena mungkin kau sudah pindah, bahkan kabur ke luar kota atau malah ke negara lain. Kemungkinan menemukanmu itu sangat kecil. Tapi aku tak pernah menyerah. Sampai akhirnya aku berhasil, walau harus memakan waktu dua tahun, Subyek 16." Ashe tertawa getir. "Kau pasti tak menduganya, kan. Ayahku hanya menurunkan sedikit ciri fisiknya kepadaku. Aku lebih mirip ibuku yang keturunan orang Iran."

Sig teringat akan dendam kesumatnya yang membuncah ketika tahu Viktor telah tiada. Dendam yang mendorongnya menjadi jagal. "Lalu, kenapa kau tak melakukan apa pun ketika menemukanku setahun yang lalu?"

"Aku tidak tahu. Bahkan dari awal aku tak tahu akan melakukan apa setelah menemukanmu. Tujuanku waktu itu cuma satu, melihat wajah pembunuh ayahku. Aku tak memikirkan kelanjutannya. Bahkan setelah setahun berpikir, aku masih jalan di tempat." Ashe sedikit menggertakkan giginya. "Sekarang aku memang ingin menghabisimu, tapi aku tak bisa melakukannya. Tak ada alasan khusus, aku cuma tak sanggup."

"Maaf..."

"Kau kira permintaan maaf saja cukup?" Nada bicara Ashe mulai meninggi. Pandangannya terhujam tajam kepada Sig, yang kini menunduk. "Seperti yang aku bilang tadi, ayahku tidak akan mendapatkan predikat ayah terbaik. Tapi aku masih ingat, dulu waktu aku masih kecil, dia kadang meluangkan waktunya untuk bercerita kepadaku sebelum tidur, aku juga selalu menanti kepulangannya dari pekerjaan, aku..."

Ashe kembali tercekat. Ia mengatur napasnya sambil mengelus dada. "Dan aku tak percaya saat mendengar seorang pembunuh seperti dirimu berbicara mengenai bagaimana rasanya kehilangan seseorang. Seharusnya, kalau mengerti hal itu, kau tidak akan dengan mudahnya menghabisi ayahku."

"Kalau begitu, apa yang harus kulakukan untuk menebus semuanya?" Sig memaksa dirinya untuk memandang mata Ashe yang masih dilapisi cairan bening.

Ashe bangkit dari duduknya. "Aku tidak tahu. Yang jelas, sekarang banyak yang kehilangan orang terdekatnya karena serangan 'makhluk buas' itu."

"Bukan aku yang melakukannya."

"Aku tahu. Aku menaruh kamera di sekitar kamarmu tanpa kau ketahui. Aku selalu mengawasimu. Di hari serangan-serangan itu terjadi, kau tak pernah keluar." Ashe berjalan mendekati Sig. "Dugaanku tentu saja Fringe Global yang mendalangi semua itu. Kau membenci mereka, kan? Aku juga sangat membenci mereka. Perusahaan keparat itu mempunyai peran dalam membuat ayahku jauh dari keluarganya."

"Itu..." Pikiran Sig macet dan tak bisa menyusun tanggapan apa-apa.

Ashe berbalik, mulai melangkah pergi. "Sepertinya ini adalah momen terakhir kita bertatap muka. Aku sudah mengeluarkan apa yang tertimbun dalam hatiku sejak dulu. Aku titip hadiahku untuk anak keluarga Handler. Sampaikan salamku kepada mereka."

"Tunggu!" cegah Sig, berdiri dari kursinya. Ashe pun langsung berhenti. "Namamu bukan Ashe, kan?

"Kamala. Kamala Bennet," balas Ashe, tak memandang Sig sama sekali. "Aku tidak bodoh seperti dirimu yang mempertahankan satu nama saja."

"Nama ini adalah salah satu hal terpenting dalam hidupku," timpal Sig, memandangi punggung Ashe yang menjauh.

Silent Moon Illusion [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang