"Shiaaaa!!!" panggil Sig keras.
Tak ada jawaban sama sekali. Terpacu firasatnya sendiri, Sig merasa isi perutnya diaduk-aduk.
"A... Ada apa?" tanya Val, masih saja menitikkan air mata.
Sig menatap Val lagi. Haruskan dirinya meminta wanita itu mendatangi tempat si penembak jitu? Tidak. Val terlalu polos. Terlebih lagi, Sig lah yang meminta Shia mendatangi bangunan itu. Sig merasa dirinyalah yang bertanggung-jawab.
Mengatur napas, Sig memfokuskan dirinya untuk berubah. Tapi tetap saja, sekeras apa pun mencoba, tubuhnya tetap seperti itu, berwujud manusia seutuhnya.
Sig pun tertawa getir. Sedikit menyibak rambut Val, ia berkata, "Val, apakah kau mau memenuhi permintaanku?"
Val hanya menelengkan kepalanya sedikit. "Permintaan apa?
"Berubahlah, lalu larilah dari sini sejauh mungkin."
Val langsung menggeleng keras. Air matanya turun semakin deras. "Tidak! Aku baru saja bertemu denganmu lagi..."
"Aku mohon, Val. Kau mencintaiku, kan?" potong Sig cepat.
Kata-kata itu langsung membuat mulut Val menganga.
"Saudaraku ada di bangunan itu dan dia dalam bahaya, aku harus segera menolongnya," lanjut Sig.
"Biarkan aku ikut!"
Sig mengusap kepala wanita itu. "Aku tidak mau kau dalam bahaya, Val. Tenang saja, aku akan menemukanmu lagi lewat baumu."
"Tapi..."
"Kau mencintaiku, kan?" ulang Sig, kali ini dengan nada lebih tegas. "Kalau kau mencintaiku, turutilah permintaanku."
Val menggigit bibirnya. Menahan air matanya, ia berubah wujud, menatap Sig sejenak, baru kemudian melesat.
Matahari sudah hampir terbenam seluruhnya. Suasana akan berubah gelap sebentar lagi. Hal ini memang menguntungkan Sig, yang pandangannya lebih tajam dari manusia biasa. Namun, ia tak bisa membuang waktu. Shia harus segera ditolong.
Ia pun bangkit dan segera berlari menuju pepohonan. Lagi-lagi mendengar senapan menyalak, ia melompat, berguling dan bersembunyi di balik salah satu pohon.
Selain membuang waktu, merayap hanya akan mengundang penembak itu menyalakkan senapan. Gerakannya menyibak ilalang bakal terlihat. Beda kalau berwujud serigala, dirinya akan sulit ditembak. Kecepatan larinya tak bisa diikuti mata manusia biasa. Buktinya tadi Yvonne baru dieksekusi ketika berdiri dengan wujud manusia.
Sig berlari lagi, melompat ketika mendengar desingan, berpindah ke pohon lain. Ia mengulang-ulang gerakan lari dan melompat itu, terus menghindari peluru-peluru yang meluncur kepadanya. Ia baru berhenti ketika sampai di ruang terbuka di dekat bangunan.
Sig mengamati bagian atas bangunan, berhasil menemukan si penembak yang merubah posisinya dari tiarap menjadi berjongkok. Ujung senapan laras panjang si penembak terarah ke area tempat Sig berada. Memantapkan tekad, Sig berlari lagi. Desingan-desingan peluru kembali datang, tapi tak ada satu pun yang berhasil menembus tubuhnya.
Sig disambut kombinasi bau mesiu, daging terbakar, serta anyir darah ketika berhasil memasuki bangunan itu. Matanya langsung tertuju kepada cekungan besar di lantai. Sig langsung menduga kalau cekungan itu adalah bekas ranjau yang meledak.
Tak perlu waktu lama bagi Sig untuk menemukan tubuh serigala hitam yang tergeletak di dekat salah satu pilar beton. Berhati-hati kalau-kalau ada ranjau lain, Sig menghampiri tubuh berlumur darah yang dua kaki depannya sudah menghilang itu.
Saat memeriksa tubuh tersebut, Sig tak menemukan degup jantung atau helaan napas. Merasakan sensasi panas dan berembun di matanya—dua hal yang sangat dibencinya—Sig pun menutup kelopak mata saudaranya itu.
Hanya dalam waktu singkat, ada dua hal yang hilang dari dirinya.
Belum selesai meratap, Sig kembali mendengar desingan senjata api.
"Argghhh!!!" Tepat ketika Sig bergerak menghindar, panas dan nyeri luar biasa bersarang di bahu kanannya. Ia buru-buru bersembunyi di balik pilar sambil memegangi bahunya yang kini berlumur darah.
Sig tak menemukan bekas lubang di pundaknya yang jelas-jelas baru ditembak itu. Sepertinya peluru si penyerang cuma menyerempetnya.
"Apa karena selalu gagal menggunakan banyak orang, mereka sekarang justru mengirim satu saja?" pancing Sig. Ia sudah fokus pada pendengarannya, tapi telinganya sama sekali tak menangkap langkah kaki. "Heh! Tak mau repot-repot menggunakan peredam tembakan, ya? Yah, pakai peredam juga percuma, aku masih bisa mendengarnya. Aku bertanya-tanya, apa Fringe Global tak bisa membuat peredam tembakan yang sebagus peredam di sepatu kalian?"
Tak mendapat respon, ia sedikit melongokkan kepalanya. Tepat ketika dirinya melihat satu sosok manusia, desingan itu terdengar lagi. Sig buru-buru menarik kepalanya. Tepat ketika satu peluru menyerempet pilar, Sig keluar dari sisi yang lain, berlari zig-zag untuk menghindari peluru-peluru yang kembali datang,
Sang penyerang sudah berbalik untuk kabur, tapi Sig berhasil menubruknya. Mereka pun berguling-guling dan Sig berhasil menindihnya.
Alih-alih melancarkan pukulan, Sig justru mematung ketika si penyerang melepas kacamata infra merahnya.
"Kau?" Sig menahan napas.
"Heh, masih ingat aku rupanya." Suara perempuan keluar dari mulut si penyerang.
Meski sekarang rambut merah si penyerang sudah bermodel mohawk tipis—bukan panjang seperti dulu—Sig masih bisa mengenali wajahnya.
"Sebelum kau bertanya, aku akan menjawabnya. Namaku Jane dan kau telah membunuh rekan-rekanku untuk menyampaikan 'pesan' kepada Fringe Global. Dan ya, aku yang dimintai tolong dirimu untuk menyampaikan 'pesan' itu," tutur si penyerang.
"Ma... Maafkan aku."
"Sudah bunuh saja, dia telah menghabisi dua saudara barumu." Suara Arthur kembali muncul di otak Sig. Namun, kali ini mengabaikannya adalah hal yang mudah bagi Sig. Ya, Shia dan Yvonne memang sudah mati, tapi itu juga bisa dibilang karena perbuatannya sendiri di masa lampau. Perbuatan yang memicu Jane melakukan semua ini.
"Tiga tahun ini bisa dibilang aku terus memikirkan rekan-rekanku. Awalnya aku ketakutan, bahkan sampai berhenti dari pekerjaan. Namun, sebagai satu-satunya yang bertahan hidup, lama-lama aku merasa harus membalaskan kematian mereka..." Mulut wanita bernama Jane itu menggulirkan kekehan getir. "Buat apa aku bercerita panjang lebar seperti ini? Toh, sebentar lagi kau akan membunuhku."
Sig berdiri, sedikit melangkah mundur. "Tidak. Aku tidak seperti dulu. Aku sekarang tidak membunuh..."
Belum juga Sig selesai bicara, Jane bangun dan menyabetkan sebuah pisau. Sig menangkap tangan wanita itu dan memelintirnya. Begitu Sig melancarkan pukulan ke lehernya, Jane tersungkur tak sadarkan diri.
Sig mengatur napasnya. Otaknya menggaungkan sebuah pertanyaan: sampai kapan masa lalu mengejarnya seperti ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
WerewolfSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...