Cinta sampai halal part 14

3.2K 96 0
                                    

Dering alarm terdengar nyaring di telingaku. Aku menoleh pada ponselnya.

Jam baru menunjukkan pukul 2 dini hari. Apa dia akan sholat tahajud? Aku hendak membangunkannya,namun aku urungkan niatku karena ternyata dia menyadarinya. Aku segera menarik kembali tanganku.

Ia segera beranjak menuju kamar kecil setelah dia keluar,aku pun masuk ke kamar kecil.

Dalam kesunyian malam,aku dan dia sama-sama bermunajat pada sang khalig.

Aku menangis,merayu pada sang khalig. Benarkah ia jodoh yang ditakditkan untukku? Jika ia,apakah Allah akan menumbuhkan cinta itu pada kami?

Aku mengusap air mataku saat dia telah menyelesaiakan do'anya.

Ku ciumi tangannya sebagai tanda telah halalnya kami. Aku merapikan alat shalatku sebelum bergegas kembali ke tempat tidur. Ku pikir,ia akan kembali tidur,namun ternyata dugaanku salah besar.

Ku amati gerakannya menuju lemari berbofet. Diraihnya mushaf ukuran sedang yang tersimpan di tempat khusus berbentuk persilangan. Bentuknya cantik bermotif kaligrafi Al Qur'an dan itu adalah hadiah dari orangtuaku. Kata ayah, benda itu benda bersejarah yang diberikan mendiang kakek. Sejak kecil,ayah telah diajari Al Qur'an oleh kakek.

Sayangnya,kakek telah tiada saat ini. Jika ia masih ada,ingin ku salami kedua tangannya karena ia telah menghadirkan seorang laki-laki tangguh di keluarga kami,yaitu ayahku.

Alunan lembut yang keluar dari bibirnya sungguh membuat hatiku terasa damai. Hingga mata ini tak ingin terpejam meski badan telah terbaring.

Baris demi baris ayat-ayat suci yang dibacanya mampu membuat air mataku menetes. Aku bersyukur,Allah jadikan ia imamku meski aku tahu pernikahan ini bukan kehendak kami.

--

Sayup-sayup,suara adzhan telah menggema,aku tersadar dari tidurku yang aku sendiri tak menyadari itu. Aku menoleh ke bawah ranjang namun ia tak ada.
"Apa dia ke masjid?" gumamku. Aku segera beranjak hendak memastikan. Aku cek kamar mandi,namun ia tak ada. Aku segera keluar kamar,seraya memastikan. Namun ia juga tak ada.

"Alwa,cari siapa?"

"Hum... Anu ma.." haruskah aku mengatakan yang sebenarnya?

"Cari fikran yah?" aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Fikran sedang ke masjid. Katanya sih mau shalat berjamaah." lanjut mama.

"Oh..."

"Kamu sudah shalat nak?"

"Belum ma. Ini mau shalat." sahutku sembari tersenyum pada mama lalu bergegas kembali ke kamar.

--

Aku membantu mama dan bi ija di dapur menyiapkan sarapan untuk pagi ini. Ini adalah hari pertama aku menjadi seorang istri.

"Alwa."

"Iya ma."

"Kamu tahu tidak momen seperti ini adalah momen yang paling dinanti oleh seorang wanita jika telah menjadi seorang istri."

"Benarkah?" Mama mengangguk

"Alwa,mama ingin bercerita sedikit tentang kisah mama dan ayah?" aku menoleh pada mama sembari tersenyum kearahnya.

"Boleh ma."

"Waktu mama mudah dulu,mama tidak pernah menduga bahwa ayah kamu akan menjadi suami mama. Kami berteman sudah cukup lama sejak mama melanjutkan sekolah menengah pertama. Ayah kamu seperti seorang kakak bagi mama sendiri. Tanpa mama sangkah,ayah kamu datang ke rumah dengan niat baik untuk melamar mama. Mama tidak bisa menolak karena mendiang kakek juga berkawan baik dengan kakeknya ayah kamu. Acara pernikahanpun dilaksanahkan. Mama menikah dengan ayah bukan atas dasar cinta tapi atas dasar kenyamanan. Mama nyaman bersama ayah. dia dewasa. Mama suka laki-laki yang dewasa. Sering kali mama disakiti oleh teman laki-laki mama,diejek karena badan mama gendut waktu sekolah,namun ayahmu datang menghibur mama hingga mama bisa tersenyum. Mungkin jika saat itu mama menolak,tak akan mungkin kamu lahir ke dunia ini nak." Seraya mengusap pipiku lembut. Terlihat mata mama sudah berkaca-kaca. Segera mama mengusap pipinya.

"Tuh kan,mama jadi nangis."

"Nggak apa-apa sayang. Mama seneng jika berbagi cerita sama anak mama. Terkadang yang kita suka belum tentu baik untuk kita. Allah punya rencana tersendiri. Mama yakin,fikran laki-laki yang baik." Aku mengangguk atas ucapan mama.

--

Matahari kian condong ke barat tanda siang kan berganti malam.

Aku duduk sendiri di balkon kamarku.
"Aku sudah bicara sama ayah.''

Aku menoleh kearahnya yang ada dibelakangku. Dari arah pintu,dia berjalan menuju kearahku
" tentang apa?" tanyaku padanya.

"Tentang kepindahan kita. Aku sudah kasih tahu sama ayah jika kita akan pindah dalam waktu dekat ini. Aku sudah membeli rumah dekat dengan kantor. Dan ayah juga sudah setuju atas keputusanku." aku berusaha mencernah keputusan yang dia ambil. Pindah,semuda itu kah? Dia juga tidak membicarakan terlebih dahulu padaku tentang ini. Kenapa? Apa keputusan seperti ini dianggap biasa olehnya hingga dia tak berkenan meminta pendapatku dulu?

Aku diam. Dia lantas berlalu meninggalkan aku yang masih bertanya-tanya dalam pikiranku sendiri.

Apa aku tidaklah penting baginya??

Cinta sampai HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang