Part 1 MATEO

40.7K 1.6K 68
                                    

Rumah megah bergaya khas Italia. Dengan pilar kokoh dan lengkungan sempurna di setiap sudut. Setiap mata yang memandang tak akan bisa melupakan taman dengan air mancur sebagai pusatnya yang begitu indah. Tertata rapi oleh tukang kebun yang profesional di lahan yang sangat luas di pinggiran laut Liguria. Sebuah rumah yang menggambarkan betapa makmur nya kehidupan para penghuninya. Koleksi mobil mewah menghiasi salah satu bagian properti kediaman itu. Tak perlu lagi digambarkan sisi lain dari kediaman megah itu. Semuanya lengkap dan mewah.

Kediaman pengusaha Maurizio Inzaghi.

Selalu menjadi salah satu yang terbaik di Napoli. Pengusaha restoran pizza ternama yang bahkan merajai setiap sudut kota manapun di Italia dan juga dunia. Ketertarikan Maurizio pada dunia sepakbola membawanya menjadi salah satu penyandang dana sebuah klub sepakbola ternama di kotanya.

Pagi yang hangat di pertengahan musim panas.

"Mateo...jangan lupa mengganti kaus kakimu, sayang."

Seorang pria tampan dengan lengkung alis tebal nan tajam berhenti bergerak. Dia berdiri di tengah anak tangga dan menatap ke bawah.

"Aku bahkan sudah 28 tahun."

Pria itu.

Mateo Inzaghi.

Putra tunggal keluarga Inzaghi.

Pria matang dengan rahang kokoh, mata tajam, dan bibir penuh yang nyaris tanpa senyum. Rambut coklatnya dibiarkan sedikit memanjang. Tubuh tegapnya tak bisa berbohong bahwa dia berlatih begitu keras menjaga kesehatannya.

"Jangan lupa minum susumu, Mateo."

Mateo kembali berhenti dari langkahnya. Dia menghela napas dan menatap Alexia Inzaghi, Ibunya yang berjalan mondar-mandir antara dapur dan ruang makan. Sementara itu Maurizio Inzaghi seakan tak terganggu dengan teriakan istrinya itu. Dia asyik membaca koran paginya dan menikmati cerutu besar kesukaannya.

Mateo berjalan menghampiri Ayahnya dan mencium kepala pria gemuk itu.

"Pagi Yah."

"Pagi, Nak. Apakah harimu bisa lebih buruk dari ini? Rasanya aku ingin membungkam mulut Ibumu itu dengan plester atau semacamnya."

Mateo mengendikkan bahu. Dia duduk dan menanti. Dan benar saja, setumpuk kentang tumbuk dan daging panggang berpindah ke atas piring di hadapannya. Tentu saja oleh tangan terampil Ibunya.

"Apa Ayahmu merencanakan sesuatu yang kejam untukku Nak?"

"Tidak Bu. Semuanya aman terkendali."

"Aaah...kalian para pria selalu bersekongkol."

Lalu untuk apa wanita cantik itu bertanya kalau dia sudah tahu? Mateo menggeleng dan memulai sarapannya.

"Aku harus ke klub. Bisakah kau melihat restoran kita di pusat kota? Kita merekrut pegawai magang dan paruh waktu. Kuharap kau mau menyeleksi mereka Mateo. Aku...sudah terlalu tua untuk itu."

"Tentu Yah."

Mateo berpikir Ayahnya sangat berlebihan. Ayahnya, di usia 62 tahun bahkan tak nampak tua. Dia masih sanggup bermain bola setengah putaran. Dia masih nampak gagah.

"Habiskan sarapanmu dan hubungi Ayah begitu semua beres."

"Tentu."

Maurizio beranjak. Sambil menghisap cerutunya dia keluar dari ruang makan diikuti oleh istrinya.

Mateo mengunyah makannya cepat. Dia masih harus menghabiskan susunya. Dia harus melakukannya atau Ibunya akan menangis. Yah...menangis karena dia akan begitu sensitif. Berpikir bahwa usahanya membuatkan sarapan pagi untuk Mateo adalah sia-sia kalau sampai ada yang tersisa di piring atau gelas Mateo.

DEAR, SILENCE (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang