Part 12 NEW YORK

11.3K 1.2K 65
                                    

Typonya yaaak....

Isabela menatap tangan Mateo yang menggenggam tangannya erat. Langkah kaki mereka yang berbalut sepatu boot dan sepasang sepatu flat yang entah mengapa berwarna senada, serasi menyusuri lantai bandara John F Kennedy, New York.

Isabela menelengkan kepalanya. Menengok pada Mateo yang berjalan tenang di sampingnya. Hingga saat ini Isabela masih saja merasa linglung, bahkan setelah perjalanan 14 jam dari Italia ke New York, menuruti apa ucapan Mateo. Mateo ingin berkunjung ke kediaman Jefferson. Satu hal yang terasa mendadak diutarakan Mateo kemarin. Dan inilah yang terjadi.

Isabela menghirup udara New York, kota yang kian lama kian memancarkan kegemilangannya sebagai kota para pekerja keras.

"Apakah kita tidak perlu menelpon seseorang di rumahmu?"

Pertanyaan Mateo membuyarkan lamunan Isabela. Dia tersenyum gugup pada Mateo yang membukakan pintu sebuah taksi berwarna kuning cerah. Isabela menyebutkan alamat yang ingin ditujunya sesaat setelah mereka duduk di dalam taksi. Taksi melaju pelan, seakan tahu penumpang mereka baru mengunjungi New York setelah sekian lama.

"Kau tidak gugup?"

Isabela bertanya pada Mateo yang tengah asyik menekuri pemandangan gedung-gedung menjulang tinggi yang nyaris tidak ada di kota Napoli. Napoli yang penuh dengan bangunan kuno bersejarah. Tersentuh modernisasi tapi tidak segempita New York. Satu kesamaan antara New York dan Napoli yaitu mereka sama-sama sebuah kota yang menjadi pusat sebuah pelabuhan besar.

"Aku? Tentu saja aku gugup. Kudengar dari Ayahku...Ayahmu sedikit pendiam. Aku tidak berpengalaman menghadapi seseorang yang berwatak pendiam. Banyak hal yang tersirat dan perlu kehati-hatian untuk menterjemahkan sikap seorang pendiam."

Isabela mengangguk kecil.

"Ayahku persis seperti itu. Nyaris seperti yang kau gambarkan."

"Kau membuatku semakin gugup."

Isabela menggeleng.

"Kita sudah sampai di New York. Kalau hal ini adalah sebuah kisah tentang perenang yang tersesat di lautan dan dia mencoba mencari daratan, dan perenang itu berhenti saat sudah melihat daratan di depan mata...semua akan menuai kesia-siaan."

Taksi melaju semakin kencang membelah jalanan New York menuju ke pinggiran kota yang lebih lengang.
Dan ketika taksi berhenti, Isabela dan Mateo masih saja terdiam.

"Kau siap?"

Isabela menoleh menatap Mateo yang hendak membuka pintu taksi.

"Terjadilah apa yang harus terjadi."

Isabela tertawa mendengar ucapan Mateo dan mengucapkan terimakasih pada Mateo yang menahan pintu mobil untukknya. Mereka lalu berdiri di hadapan pagar yang menjulang. Kediaman Jefferson yang artistik. Hampir seluruh desain bangunan adalah karya Daniel Jefferson sebagai persembahan kepada Stephanie, istrinya. Bangunan yang sangat indah. Kokoh tapi terlihat lembut dan indah. Seperti Stephanie di mata Daniel.

Tangan Isabela menjangkau bel lalu melirik Mateo yang menghela napas pelan. Isabela tersenyum. Mateo jelas menunjukkan sisi manusiawinya. Gugup.

"Kau seperti tamu di rumahmu sendiri, Bela."

"Kau akan melihat Ibuku berteriak."

"Berteriak? Seperti Ibuku?"

Isabela mengangguk.

"Nona Isabela...kenapa tidak masuk saja?"

Seorang petugas keamanan membukakan pagar rumah dengan wajah tak percaya. Memang cukup lama Isabela tak pulang. Dan kepulangannya tanpa mengabari siapapun tentu saja mengagetkan petugas keamanan itu.

DEAR, SILENCE (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang