Part 15 GONE WITH THE WIND

9.8K 1K 26
                                    

"Tidak dengan pengawal, Dad. Aku hanya mau ke butik Nenek, bukan bepergian jauh."

Isabela merapikan dress-nya sementara Daniel menatapnya dengan tatapan khawatir. Entah mengapa, hati pria itu terasa berdesir pagi ini.

Isabela mendongak dan memberikan senyum terbaiknya. Mateo baru saja pergi ke bandara dan melarang dia ikut. Dan dengan mengunjungi Neneknya, Isabela pikir akan sedikit mengurangi gundahnya.

"Hanya ke butik, Daddy. Di sana juga ada Mom."

"Dad ada rapat penting sebelum meliburkan diri hingga akhir pekan, jadi tidak bisa mengantarmu. Bagaimana dengan seorang supir? Kau bisa meminta Jim?"

Isabela menggeleng.

"Apa salahnya kendaraan umum? Aku akan naik kereta. Satu kali naik dan sampai. Dad tak perlu khawatir."

Daniel terlihat menghela napasnya perlahan. Lalu dia mengulurkan tangannya. Isabela tertawa pelan dan berakhir masuk dalam pelukan Ayahnya.

"Dad khawatir, Isabela."

"Tidak usah khawatir. Aku akan menjaga diri."

"Telepon Dad begitu kau sampai."

Isabela mengangguk dan tertawa saat Ayahnya merapatkan pelukannya. Dia selalu merasa dia masih gadis kecil Ayahnya saat Ayahnya bersikap seperti ini.

"Baiklah. Berjanjilah untuk hati-hati."

Isabela mengangguk dan berbalik. Dia melangkah keluar dengan sekali lagi menoleh pada sang Ayah. Dan entah mengapa Isabela berbalik lagi dan memeluk Ayahnya erat.

"Aku menyanyangimu, Dad. Kalau aku jauh, bukan berarti aku akan melupakanmu. Kau Ayah terhebat di dunia."

Daniel tertawa.

"Baiklah. Pergilah dan jangan lupa makan siangmu. Dan obat..."

"Aku tahu, Dad..."

Isabela berbalik dan melangkah cepat keluar dari ruang kerja Ayahnya. Dadanya berdesir hebat. Seperti sesuatu tengah menunggunya. Isabela menggeleng dan menepis perasaan tak nyaman di hatinya. Dia menepuk dadanya perlahan.

"Tenanglah sebentar. Jangan menjadi khawatir seperti ini. Ada apa denganmu?"

Isabela merasai jantung di dadanya yang berdetak semakin kencang. Seperti...detak jantung yang tengah gelisah menunggu sesuatu. Atau seseorang.

Isabela menghela napasnya dalam dan menghembuskannya perlahan. Dari kediaman Jefferson, Isabela berjalan menyeberang dan berdiri di samping sebuah pohon sebelum akhirnya menyeberang lagi di sisi jalan yang lain. Setelah itu dia mengayun langkahnya sepanjang trotoar semakin menjauh dari kediaman Jefferson. Setelah berjalan 100 meter Isabela berbelok. Senyum mengembang di bibirnya. Dengan sedikit berlari kecil dia melangkah cepat menuju sebuah stasiun bawah tanah yang ada di sisi kanan jalan. Stasiun yang sudah ada bahkan jauh sebelum Isabela dan keluarganya pindah ke pinggiran kota itu. Kota kecil di selatan New York yang berpenduduk sedikit dan bahkan mungkin banyak yang saling mengenal karena mereka ada dalam satu komunitas gereja atau yayasan amal dan semacamnya.

Isabela masuk ke dalam stasiun dengan menuruni tangga. Hanya satu dua saja orang yang keluar dari dalam stasiun. Beberapa saat kemudian Isabela sudah berdiri menunggu di peron. Sejenak dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Stasiun ini nampak semakin tua namun sentuhan modern banyak terlihat di beberapa sudut. Dan, nampak sunyi. Tatapan Isabela menjelajah. Hanya ada dua orang pria dengan jas rapi berdiri tak jauh darinya. Selebihnya, tak ada lalu lalang manusia di koridor peron. Isabela berpikir, sepertinya orang-orang sekarang ini lebih memilih kendaraan dengan aplikasi online daripada harus menggunakan kereta.

Isabela tengah menunduk menekuri ujung sepatunya, mengisi hening 10 menit sebelum kereta yang akan membawanya ke pusat Manhattan datang. Tangan Isabela terulur mengusap dadanya yang tiba-tiba berdetak lebih kencang.

"Tenanglah...tenanglah...kau kenapa?"

Isabela mendongak saat merasakan desir angin menerpa bagian belakang tubuhnya. Kereta belumlah datang. Lalu...angin darimana?

Isabela terasa melayang. Di antara sunyi yang menyergap, detak jantungnya kian bertalu mengisyaratkan sebuah bahaya. Pikiran Isabela berkecamuk. Sebuah penyesalan karena mengabaikan kekhawatiran Ayahnya berkelebat. Isabela berusaha membuat dirinya tetap terjaga, sekuat tenaga menajamkan indera penglihatannya agar tetap bekerja. Dan dia tidak bisa.

Dear, Silence...

"Mengapa selalu mencoba menyergap di saat aku tidak ingin?"

Pertanyaan itu mengiring Isabela yang terlelap dalam buaian sunyi. Jantungnya bertalu memecah senyap yang menggelayut. Semakin kencang seakan mengisyaratkan sebuah kegembiraan? Atau sebuah kekhawatiran yang besar?

Kereta berhenti di peron yang kosong. Berhenti sesaat sebelum akhirnya kereta mulai melaju lagi tanpa satu orangpun masuk ke dalamnya untuk pergi ke pusat kota. Meninggalkan sunyi stasiun kereta bawah tanah itu.

--------------------------------------------

Rusia.

Red Room

Ruang merah. Seperti namanya, ruang itu nyatanya adalah sebuah rumah megah dua lantai dengan cat dinding yang didominasi warna merah dan hitan yang tersembunyi dari pandangan mata khalayak ramai. Berada di sebuah teluk yang tertutup yang menghadap ke lautan Baltic. Habitat teluk itu adalah hutan pepohonan maple yang saat ini tengah berada di puncak warnanya yang kemerahan. Kalau dilihat dari atas, maka rumah itu itu seakan tersamar oleh hamparan dedaunan maple yang tengah dalam masa kesuburannya. Dan sejauh mata memandang, rumah mewah itu adalah satu-satunya bangunan yang ada di wilayah itu. Sepertinya, pemilik rumah mewah itu memang sengaja membuat bangunan itu tak tersentuh oleh orang lain.

Ketika lebih dekat lagi, maka yang terlihat adalah serangkaian sistem keamanan bernilai milyaran dollar yang terpasang dibanyak sudut bangunan. Sepertinya, selain rumah itu sangat misterius dan tersembunyi, rumah itu juga nyatanya dibuat tak tersentuh bahkan oleh penjahat paling jenius sekalipun.

Selain peralatan modern, nyatanya rumah itu dijaga oleh banyak sekali pria berotot yang berbalut setelan rapi. Mereka dilengkapi dengan persenjataan modern dan tentu saja canggih. Dan bagaikan robot, mereka bekerja dengan jadwal yang sangat terorganisir. Penjagaan mereka begitu maksimal hingga tidak ada celah bagi siapapun untuk mendekat.

Dominasi hitam dan merah yang diseling dengan rangkaian bebatuan menjadi arsitektur utama dan dominan. Bangunan dua lantai itu adalah juga merupakan bangunan dengan atap yang tinggi hingga setiap ruangan terasa lega dan luas. Jendela-jendela tinggi terlihat begitu gagah. Lagi-lagi dengan tirai berwarna hitam dan merah.

Merah dan hitam.

Begitu juga dengan setiap perabotan yang tersusun rapi. Sofa hitam dan merah dengan kualitas terbaik. Meja kursi, lemari, laci-laci bahkan hingga bingkai foto semuanya bernuansa hitam dan merah.

Merah dan hitam.

Misterius.

Pemujaan akan seseorang yang istimewa.

Citarasa dan karsa setiap inchi bangunan itu seperti telah dipersiapkan. Untuk sesuatu. Untuk seseorang.

------------------------------------

Naaaaaah...kan...

Selamat berimajinasi...

Tetap bahagia yaaaak...

Tetap bahagia yaaaak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

👑🐺
MRS BANG

DEAR, SILENCE (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang