Isabela menoleh. Lonceng kecil di atas pintu toko bunganya berdenting nyaring tanda pintu didorong oleh seseorang. Dan Isabela menghela napasnya sedemikian pelan sambil beranjak.
"Nona Antonia. Ada yang bisa aku bantu?"
Antonia terlihat melangkah pelan sambil menggerakkan tangannnya menyentuh bunga-bunga segar yang terpajang di dalam bejana.
"Bagaimana reaksi Mateo saat melihat bunga itu?"
"Oh, dia diam saja."
"Oh, really? Kupikir dia akan mengamuk."
Kalau tahu dia akan mengamuk kenapa pula harus mengirim bunga itu?
Isabela membatin kata-katanya dan meraih gunting kecil. Dia mulai memotong duri-duri pokok mawar yang baru saja datang.
"Aku mau mengirimkannya lagi. Maksudku, bunga mawar pucat seperti kemarin."
Isabela membuang napas pelan.
"Baiklah. Segera aku kerjakan. Kurir akan mengantarnya sesegera mungkin."
"Bagus. Aku akan membayar dengan pantas."
"Membayarlah sesuai dengan pesanan. Seperti itu juga hidup. Membayar sesuai dengan apa yang dilakukan."
Langkah Antonia menuju kasir terhenti dan dia menoleh ke arah Isabela.
"Kau punya maksud apa dengan berkata seperti itu padaku?"
"Tidak ada. Aku hanya berkata pada diriku sendiri."
"Terserah kau saja."
Isabela mengendikkan bahu dan meneruskan kegiatannya. Sampai lonceng kecil di atas pintu berbunyi lagi. Isabela melirik dengan ujung matanya. Antonia berjalan anggun menuju mobilnya. Seorang pria dengan sarung tangan dan topi rapi, membukakan pintu untuknya.
Oh...Isabela berpikir. Pernahkah dia melakukan hal itu? Di bukakan pintu oleh seorang supir? Isabela tertawa. Menjadi seorang Leandro bukan berarti dia mendapatkan keistimewaan seperti itu. Dia bahkan menyukai transportasi umum.
"Aku tak percaya Mateo berselera dengan wanita seperti itu."
Isabela bahkan merasa dirinya perlu menelengkan kepala untuk melihat sekali lagi mobil Antonia yang pergi menjauh. Isabela meraih ponselnya.
"Antonia mengirimkan bunga lagi. Sebaiknya kukirim kemana? Atau kau mau menerimanya kali ini?"
Hening. Tidak ada jawaban dari Mateo di seberang sana.
"Kirimkan saja ke neraka. Kau tahu alamatnya bukan?"
Tawa Isabela meledak.
"Baiklah. Mungkin saja Mr Google tahu. Aku akan tanyakan padanya nanti."
Jawaban yang tak kalah konyol.
"Mau makan siang denganku Bela?"
"Hmm...datanglah ke toko dengan sekotak pizza. Aku sibuk."
"Baiklah."
Isabela menutup telponnya. Dia menoleh lagi saat lonceng berbunyi. Sesosok pria gagah masuk dengan tenang sambil membuka kacamata Rayban-nya. Isabela menghela napasnya keras.
"Lionel."
"Hai, Bel."
Pria itu menghempaskan bokongnya di kursi kerja Isabela. Sementara itu Bela melanjutkan pekerjaannya. Memotong dengan teliti duri-duri mawar yang dipesan Antonia.
"Kau tak mau bertanya kabar orang rumah Bel?"
"Untuk apa? Semalam aku menelpon mereka. Dan aku tidak kaget kau tiba-tiba berada di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR, SILENCE (SUDAH TERBIT)
Romance21++ Yang belum cukup umur, silahkan kembali lagi lain waktu. Saat jantungmu adalah bukan milikmu. Dan jantung itu membawa hatimu pada kekasihnya semasa jantung itu masih berada di raga pemiliknya dulu. Saat seorang gadis harus terombang-ambing di a...