Part 6 THE ICE MAN

14.7K 1.3K 81
                                    

"Memupuk kecurigaan itu tidak baik, Bela."

"Tapi Liona...memupuk kecurigaan juga perlu. Agar kita...waspada?"

"Apa yang harus diwaspadai kalau benar Mateo tidak menyukai wanita? Atau kau bermasalah dengan gay?"

"Tentu saja tidak. Aku baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan pemikiran ku tentang mereka."

"Problem solved!"

"Tapi..."

"Kecuali kau menaruh hati pada Mateo."

Deg!

Bela tercenung. Gerakan tangannya menggunting batang mawar terhenti. Dia? Menaruh hati pada pria itu?

"Jangan Bela. Mateo itu...kaku. Dia sama sekali tidak asyik. Apa jadinya kalau kau bersamanya? Kau akan berakhir duduk-duduk berdua sambil dia minum teh sementara kau merajut. Atau kalian yang akan berdebat tentang siaran televisi apa yang akan kalian tonton?"

Isabela tercenung. Bayangan dari skenario hidupnya kelak kalau dia bersama Mateo yang dijabarkan oleh Liona berkelebat seperti roll film yang berputar ritmis dan begitu jelas.

"Itu terdengar menyenangkan."

Yang terdengar kemudian adalah geraman Liona yang tengah menuang susu.

"Oh Bela...kau bahkan berhak mendapatkan hidup yang lebih meriah dari itu semua. Dan aku salah mengatakan hal tadi padamu."

Liona mulai merutuk. Dan Bela justru tersenyum senyum.

"Lalu kalau benar dia gay?"

"Aku akan tahu."

"Jadi kau benar menaruh hati padanya?"

"Entahlah. Tapi Mateo itu...entahlah Liona."

"Kau serius??"

Liona menekan suaranya. Isabela mengendikkan bahunya dan mulai memotong batang-batang mawar lagi.

"Bagaimana pekerjaanmu, Liona?"

"Baik. Sejauh ini. Dan...di manapun akan sama saja. Para gadis seperti lebah membicarakan bos mereka yang tampan."

Liona tertawa sumbang. Isabela menghela napas. Seperti halnya hukum alam. Selalu terjadi hal seperti itu.

"Aku belum sarapan."

Isabela menoleh cepat pada Liona.

"Aku harus menghemat Bela. Ibuku membutuhkan banyak biaya."

Tanpa berkata apapun, Isabela meraih ponselnya. Dengan bahasa Italia yang sangat fasih, dia menelpon seseorang. Dan sepuluh menit kemudian, Liona terlihat melongo. Meja kopi di toko bunga Isabela penuh dengan sarapan yang diantar seorang pria dengan apron hitam panjang.

"Makanlah. Jangan menjadi sakit karena kau melewatkan sarapanmu, Liona."

Liona duduk tanpa mengalihkan tatapannya pada Isabela.

"Terimakasih, Bela."

"Jangan dipikirkan. Salahku juga. Aku lupa bilang bahwa, banyak sekali bahan makanan di lemari pendingin dan kitchen set di apartemen yang bisa kau olah. Kau boleh memasaknya Liona."

"Oh, Bela...kau baik sekali. Apakah kau punya sepupu atau semacamnya yang sebaik dirimu, yang mau menjadikan aku istrinya?"

Liona menggigit rotinya dengan bersemangat. Isabela tertawa keras mendengar permintaan Liona.

"Aku punya Kakak yang sangat tampan, dan dia sudah menikah. Hmm...tapi aku punya sepupu yang tak kalah tampan, dan tentu saja dia baik. Nanti kapan-kapan kukenalkan."

DEAR, SILENCE (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang