22. Tekanan Pascal

461 31 2
                                    

Radhin tak habis fikir dengan apa yang ia lakukan tadi. Memeluk Riska? si Cewek Berisik? Oh my Gosh. Sepertinya ia sudah gila. Ia terus memikirkan tindakannya tadi itu bahkan hingga ia sampai di ruang penyimpanan bola, di belakang sekolah. Why? Why? Why?

Radhin benar-benar tidak tahu. Yang ia tahu, ketika melihat tatapan yang Riska berikan, Radhin merasa sesuatu menggerakan hatinya. Rasa iba? Mungkin itu yang ia rasakan pada gadis yang ia buat benjol tersebut.

Bel sudah berbunyi satu menit yang lalu, namun Radhin masih santai berjalan menuju ruang kelas. Namun sebelum itu, ia melewati sebuah ruangan yang biasanya kosong, kini terbuka. Sudah dua tahun sejak Radhin melewati ruangan tersebut, namun baru kali ini ia melihat gedung tersebut terbuka. Setaunya, ruangan tersebut adalah mantan ruangan Perpus. Dan sekarang Perpus sudah berada di halaman depan, bertingkat pula. Niatnya sih agar minat membaca para siswa semakin banyak.

Penasaran dengan isinya, Radhin pun mendekati ruangan tersebut.

Begitu masuk, gelap menyambutnya. Tak ada orang sepertinya. Ia meraba saklar yang berada di dekat pintu. Kemudian lampu pun menyala.

Sring

Sebuah korden Jendela tak berkaca baru saja terbuka. Seperti seseorang baru saja keluar dari sana. Radhin pun menghampirinya, namun setibanya di sana sudah tak ada sosok yang terlihat. Radhin pun beralih melihat isi ruangan. Ada sebuah rak buku berisi beberapa buku yang sudah usang, beberapa mading yang sudah koyak, dan peralatan mesin (?)

Radhin mendekati peralatan mesin tersebut yang berada di sebuah meja besar. Ada sebuah mading yang nampak baru dibuat di sana. Sebuah foto yang ada di dalamnya membuatnya menaikan alis sebelah. Foto seorang pria dengan editan effect anjing di wajahnya, sempat memuat Radhin tersenyum geli. Di sampingnya ada sebuah foto Pak Zaki yang lain, yang terdapat effect yang sama, namun kali ini tanpa stikier wig di kepalanya.

Ada sebuah tanda tangan di pojok kanan bawah foto tersebut, tidak terlalu jelas karena ditulis bmengunakan pensil, bukan 2B sepertinya, karena sangat tipis. Radhin meraih foto tersebut, menatapnya dengan meneliti. Sepertinya ia pernah melihat tanda tangan tersebut.

Hmm....

***

"jangan-jangan Secreet hero itu..."

"udah jangan ngaco!" Radhin kembali merebut kertas tersebut kemudian berbalik badan, hendak ke kelas.

"wah jadi bener kata Wulan, Lo secreet heronya. Nggak nyangka gue," ucap Riska membuat Radhin memberhentikan langkahnya dan berbalik badan.

"maksud lo?"

Riska melangkah mendekat. "beberapa anak di kelas udah mulai menduga itu lo, wah wah wah." Riska nampak tak percaya. "Eh, serius yang jailin Pak Zaki itu lo, Pret? Pasti bukan. Lo mana ada jiwa-jiwa solidaritasnya!"

"Pret?"

"Kupret. Eh, bukan lo kan pelakunya, Pret?" Tanya Riska kesekian kalinya, membuat Radhin memutar bola matanya.

"bukan. Udah buru ke kelas." Radhin kembali melangkah ke kelas, diikuti oleh Riska.

"trus kalau bukan, itu apa dong?"

"gue nemu tadi."

"serius? Di mana?"

"di bekas ruang perpus."

"kok bisa? Bukannya ruangan itu selalu kekunci?"

"tadi lagi kebuka, gue masuk, trus ya gitu."

"gitu gi mana?"

"ck, ya gitu gue nemu ini. Dah lah. Banyak nanyak deh lo!"

"yeuu, malah sewot, kan gue mngkalrifikasi,"

ABANG #wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang