34. Hujan

459 28 11
                                    

Salah satu hal yang paling banyak fansnya adalah hujan. Adem, tenang, damai, sudah mencirikan kehadirannya bagi penggemarnya. Namun tidak semua. Ada juga yang menganggap keresahan, ketakutan, bahkan kesialan mencirikan kehadirannya.

Pagi ini mendung menyelimuti atmosfer Jakarta. Hujan yang sudah turun sejak subuh tadi masih belum ingin pergi. Membuat sekolah terasa enggan untuk dijadikan tempat belajar, melainkan untuk tidur. Ditambah guru sedang rapat, membuat kelas terlihat seperti kamar asrama.

"hoamm...."

"Ki, Riska ke mana sih? Sakit? Kok nggak ada kabar?" Radhin yang tadinya tidur di atas meja menghampiri kumpulan Aiceber yang tengah duduk melingkar membicarakan sesuatu. Keempatnya terlihat khawatir, kecuali Audy yang terlihat berusaha biasa saja.

"nggak tau. Ini juga ditelfon dari tadi nggak angkat. Masa iya ketiduran sih?" ujar Keisha kembali mengecek ponselnya.

"hee dasar kebo, mentang-mentang ujan ye...." gumam Radhin.

"firasat gue kok nggak enak ya? Kalau Riska sakit, kok nggak ada kirim surat?" ujar Kia menggenggam ponselnya erat.

"hmm, mungkin keluarganya lagi sibuk."

"eh... Tapi--"

"udah, tenang aja Ki. Mungkin tuh anak emang ketiduran. Atau nggak enak badan. Nanti pulsek, kita ke rumah dia aja," ujar Audy menenangkan. Wulan dan Keisha pun mengangguk setuju.

Radhin yang dahinya ikut berkerut menepuk bahu Kia kemudian kembali ke mejanya.

***

Riska memilih keluar dari rumahnya. Ia tak peduli lagi dengan darah di sudut bibirnya ataupun goresan-goresan pada tangannya. Ia bahkan lupa mempunyai itu jika air hujan tak membuatnya merasakan perih di sana. Rasa sakit di dadanya lah yang membuat ia terus berjalan tanpa peduli beberapa tetangganya melihatnya dengan berbagai tatapan. Ia mulai berlari. Ntah ke mana tujuannya. Ia hanya ingin segera menjauh dari rumah itu.

Saat sampai taman, ia merasa lelah. Berlari tanpa menggunakan alas kaki membuat kakinya juga mendapat goresan di sana. Hal itu membuat ia memilih duduk di salah satu bangku. Ia menunduk. Kembali ia keluarkan air matanya. Ia menjambak rambutnya pelan, berusaha mengeluarkan seluruh kekesalan pada tubuhnya. Bersyukur pagi ini hujan, hingga hampir tak ada orang di taman ini selain dirinya.

Beberapa menit kemudian, Riska merasakan seseorang duduk di sampingnya. Hujan tak lagi membasahi tubuhnya. Mau tak mau ia mengangkat kepalanya, penasaran siapa yang hadir. Apakah malaikat maut?

Begitu melihat sosok di sampingnya, Riska hanya terkejut dan terima tubuhnya ditarik untuk menerima sebuah pelukan hangat. Ia menerima tepukan pelan berkali-kali di punggungnya. Membuatnya sedikit lebih tenang.

Setelah beberapa lama, lelaki yang membawa payung putih itu menariknya dan mengajaknya ke suatu tempat. Sebuah rumah.

***

Setelah membersihkan diri dan diberi pinjam baju dan celana, Riska duduk di ruang tamu dengan segelas teh hangat di hadapannya. Tatapannya sedikit kosong.

"Kak Riska makan dulu yuk, Bang Reva buat nasi goreng nih," ujar Rafa dari meja makan.

"nggak usah, Raf. Makasih. Gue udah makan kok," ujar Riska dusta.

"yah, ini jarang-jarang loh bang Reva masak, Kak. Yuk makan aja. Nggak usah sungkan. Lagian takutnya nggak kemakan ntar kak, bonyok lagi di luar kota soalnya."

Riska hanya bergumam, dan bangkit dari duduknya. Selain sungkan, Riska juga sedang tak nafsu makan. Namun, jika sudah begini, tak enak juga juga menolak ajakan tuan rumah.

ABANG #wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang