Patung Patung Figuran

116 3 0
                                    

Gedung kampus abu-abu yang dingin itu kembali tersentuh aura manusia yang mulai memenuhi seisi gedung. Jalanan macet didepannya menandakan perkuliahan telah dimulai kembali, karena kendaraan mahasiswa lalu lalang mengantri memasuki gedung kampus. Mereka yang bukan penghuni kampus sibuk menglakson mahasiswa yang sibuk menyeberang di bantu satpam, baik menyebrang ke dalam atau ke luar kampus menuju bangunan berpintu kuning nyentrik yang dikenal sebagai tempat nongkrong anak daerah sana.

Mas Toni berjalan keluar dari cafenya seraya menyilangkan tangan didepan dada dan menghela nafas puas, melihat para pelanggan setia yang tidak lain adalah mahasiswa berdatangan ke cafenya. Namun sudah satu bulan lebih ia merasa ada yang janggal. Meski tanpa melupakan fakta bahwa dia mengambil waktunya untuk liburan dan dia baru mengunjungi cafenya dua minggu lalu, ia bisa sadar ada yang hilang.

Dua orang yang jatuh cinta itu. Rasanya mereka tidak memenuhi lagi meja sudut cafenya dengan nuansa coffeeshop yang baginya sempurna. Puisi-puisi gadis itu hanya tergantung tanpa pemiliknya. Meja itu diisi bukan oleh yang biasa. Bel pintu itu berbunyi tanpa pandangan familiar yang selalu berkesan bagi Mas Toni untuk dilihat.

Mas Toni, sang penyaksi, hanya bisa berdiam diri, dan bertanya-tanya memandang langit.

***

Di sisi lain gadis berpostur tinggi, Ara, dengan heboh mengacak-ngacak rambutnya yang setengah basah agar cepat kering sementara tangan kanannya tidak terlepas dari ponselnya. Untuk tiga hari ini ponselnya ramai tidak seperti biasanya, mulai dari orang yang selama ini dekat namun sekarang jauh, dan orang-orang asing yang mulai menghubunginya dan berniat mendekatinya sebagai wanita. Ia pun tak mengerti kenapa, namun Radian bilang, itu karena sekarang Ara tidak lagi berada disekitar Radian.

Kakinya yang jenjang berkat dari perenang membuatnya dengan cepat menaiki tangga per dua anak tangga untuk tidak terlambat datang ke konsultasi bimbingannya dengan dosen. Semester ini semester terakhirnya dan seharusnya semester terakhir bagi Radian, namun sahabatnya memilih jalan baru jauh disana.

Hatinya kembali pada gadis lain yang ia kecewakan sebagai teman, dan entah betapa takdir membawa mereka bertiga selalu bertemu, Aileena turun menyusuri tangga yang sama dengan tangga yang dinaiki Ara. Tangannya refleks berniat menggapai lengan gadis bermata kosong yang kini berambut panjang lurus terbelah tengah dan sibuk dalam dunianya dengan headset ditelinga sebelum gadis lain, Jihan, menatapnya tajam seolah berkata jangan.

Ara tercenung, lalu menatap perlahan Jihan dan Aileena yang terus turun tanpa menyadari kehadirannya. Gadis itu... kacau.

"Ra" Jihan mengambil satu langkah lebih dekat dengan Ara. "Gue aja."

Ara mengernyit. "Kenapa?"

Reaksi Jihan setelahnya membuat Ara terkaget. Jihan memutar matanya, dan mendecak sebal. "Duh, Ra, lo ngerti gak sih kalo kehadiran lo malah tambah bikin Lena inget Radian?"

Ara terdiam, membeku. Menyaksikan Jihan meninggalkannya dengan kesal menyusul Lena, membuat ia hanya bisa menunduk dan mengacak kesal rambutnya. Susah ya, jadi orang tak enakan.

Mungkin, harusnya ia tak usah jadi penyaksi lagi.

***

"No."

"No."

"No!"

Vano terkaget saat suara Bintang berteriak tepat ditelinganya. "Lo dipanggil-panggil kok gak nyaut sih ah!" Lelaki berambut lurus jatuh itu duduk dipinggir Vano dan memperhatikan temannya itu masih melamun, memperhatikan ke satu arah.

"No, liat apaan sih?!" Teriak Bintang, sampai ia menemukan sosok yang dituju Vano.

Gadis berambut panjang lurus dan mungil yang sedang duduk di kursi kantin dan melamun. Meski gadis itu tak duduk sendiri, tapi ia berlagak selayaknya tak ada siapapun disana.

Dear My Aileena (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang