Bulan Juni Kala Itu

77 2 0
                                    

"...Na."

Lena mengerjapkan matanya.

"Lena."

Radian?

"Lena. Udah nyampe."

Cubitan kecil di pipinya membuatnya bangun. "Aduh" cuitnya. Matanya perlahan-lahan terbuka dan pemandangan berupa bapak taksi online yang sedang tersenyum kikuk ke arahnya menyambutnya.

Setelah melihat senyum tengil Vano disampingnya, ia baru sadar ia terlelap di sepanjang perjalanan dari rumahnya. "Yuk turun" ujar Vano sambil melangkah keluar mobil, sementara ia masih mencoba mencari kesadarannya. Ia disambut dengan kaca besar sebuah gedung yang menyajikan tampilan dirinya sendiri, yang berbalut dress biru merah tradisional dengan hiasan bordir kain songket dan rambut nya yang sudah diuntun kebelakang rapi. Anting besar bulat dan lipstick oranyenya membuatnya tampak apik.

Oh. Dia di hari pernikahan Mbak Strestha dan Mas Farrel.
Dan karena dia diminta turut menyanyi di acara tersebut, harusnya dia datang lebih awal karena akan didandani secara khusus.

Matanya terbelalak sendiri mengingat hal tersebut. Lena sontak melihat kesekelilingnya dan mencari Vano, yang ternyata sudah tertawa dari kejauhan. "Baru sadar, neng?" Ejek Vano saat Lena sudah menghampirinya. Lena membalas Vano dengan pukulan kecil. "Anterin."

Vano tersenyum. "Iya, Lena."

***

"Kebayoran, Pak." ucap laki-laki kurus yang belum sempat memotong rambutnya hingga membiarkannya panjang sebahu. Sementara ia menutup pintu, supir taksi online itu mulai menancap gas dan pergi melalui jalan Jakarta yang masih lowong.

Kaca spion mobil yang menampilkan bayangannya membuat Radian sontak merapikan rambutnya. Hari ini hari yang ia tunggu-tunggu. Ia berhasil pulang. Meski tidak dapat penerbangan di hari sebelumnya yang membuat ia bisa pulang ke rumah terlebih dahulu karena tiketnya mahal, tiket subuh yang ia dapatkan hari ini pun sudah sangat berarti baginya.

Meski dia menambah pekerjaan tambahan di hari Sabtu, menabung uang makan dan transportasi yang ia dapatkan dari kantor Brian Hellsn dengan berjalan kaki dan menahan makan, menjual beberapa alat elektonik usangnya ke toko kelontong, belum cukup membuatnya bisa membeli penerbangan murah dalam jangka waktu empat minggu.

Untungnya, Farrel malam itu menelfon dan bersedia meminjamkan setengah biayanya. Entah apa yang membuat mantan bosnya sebegitu baiknya padanya.
Dan yang terpenting, itu bisa membuatnya melihat wajah Ibunya lagi. Dan Ara.

Dan Aileena.

Waktu sudah menunjukkan 06.00 saat ia sampai di rumah kecilnya di Jakarta. Namun senyumnya bukannya ikut mengecil, tapi malah melebar. Ibunya sudah menunggu di balik pagar sambil menyiram tanaman.

"Aduh, si gondrong" teriak Ibunya sambil tertawa. Radian kontan memeluk Ibunya itu, dan menatap garis wajah Ibunya. Entah kenapa, Ibunya itu terlihat lebih damai dan bahagia.

Sepasang ibu dan anak itu masuk ke dalam rumah itu dan duduk di meja makan sambil bercengkrama. Kini, ada yang berbeda dari percakapan mereka. Radian tanpa ragu mengeluarkan kameranya dan membidik wajah Ibunya yang baginya masih cantik. Tentu saja, Ibunya keturunan Jawa - Belanda, yang membuat wanita yang sudah tua itu tetap terlihat ayu.

"Kamu mau ke undangan ya, Nak?" Tanya Ibunya sambil menyisihkan perkedel jagung tambahan ke piring Radian, yang asyik mengunyah sambil memutar ulang video yang ia bidik tadi.

Dear My Aileena (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang