Suara dentuman musik yang keras mengiringi langkah kaki Alvano dan Bintang yang baru masuk ke klab yang dipanggil Colossim di Jakarta Utara itu. Pukul jam 23.00 bagi tempat itu adalah jam para manusia muda bersua, sementara ditempat lain yang tua dan yang kecil sudah terlelap dalam mimpinya. Lambaian tangan hadir ke Bintang si Pak Ketu dan Vano hanya bisa menyeleneh sebagai si pendamping yang tidak dicari.Para panitia menyewa empat meja bundar di sisi ruangan yang agak memojok, sehingga meski tempat itu tidak di sewa secara privat, mereka tetap mendapat their own place dengan harga yang lebih murah. Mata Vano langsung berkeliling ketika sampai, dan dirinya agak terkejut melihat Aileena duduk terdiam disamping Ghani dan Tita dan panitia lain yang sejak jam 9 tadi sudah mulai minum-minum. Tawa gadis itu masih tidak ada, tapi, gadis itu berani juga, pikir Vano. Karna ia tahu Aileena bukan tipe gadis yang senang dengan dunia malam. Menulis di tempat indah lah the real refresh untuk Aileena.
Vano langsung berjalan ke arah gadis itu tanpa menggubris seruan teman-temannya yang langsung menawari dirinya dan Bintang gelas-gelas berisi minuman.
"Lo dateng?" Tanya Vano.
Aileena melirik pelan ke arahnya dari tempat duduknya. Lalu menaikkan bahunya, seolah berkata "yeah, here is me." Vano tersenyum melihat gadis itu yang menurutnya sangat menggemaskan.
Aileena memakai dress santai berbahan katun berwarna merah marun yang membuat gadis itu sangat terlihat polos seperti imejnya. Rambutnya diikat tidak tinggi seperti ikatan ibunya waktu SMA, bibirnya dipoles warna marun yang tidak menor, dan kalung sederhana membuat stelan gadis itu makin apik.
Are you serious, radian? Batin Vano.
Vano menekan emosinya yang rasanya ingin menarik Lena langsung ke tempat dansa dan tertawa bersama gadis itu, seperti apa yang spontan dilakukannya dulu saat ia masih dekat dengan Lena. Kali ini dia menarik nafas dulu perlahan-lahan, bermaksud bertanya, "Ambil minum yuk sama gue?"
Tapi entah kenapa, ia menarik kata-katanya. Membuat gadis itu hanya melempar pandangan heran.
Vano menelan ludah, lalu terangguk mantap. Ia kini berteriak, "Guys, cheers buat Lena." Seraya menuangkan dua gelas untuk dirinya dan Lena, yang direspon pandangan terkesima dari Ghani Tita, pandangan ramah dari panitia lain yang tentunya senang-senang saja karna sedang mabuk —ya, wajarlah— dan senyum patah dari Lena.
"Cheers buat Lena!"
Teriakan orang-orang rinyuh disana, membuat gadis itu tertawa kecil, yang menularkan rasa senang di hati Vano. Entahlah. Ia hanya ingin senyaman-nyamannya Lena, dan mungkin nyaman, bukan hanya tentang berdua.
***
Vano tersenyum lega dari balik bar tempat ia mengawasi Lena yang sedang asyik berdansa dengan Ghani Tita seraya membawa gelas minuman yang kosong. Gadis itu sudah terlihat sedikit mabuk, namun Vano memutuskan untuk membiarkannya, karna ia pikir, Lena butuh hal ini.
Ikatan rambut gadis itu kini sudah terlepas, dan tawa mabuk yang keluar dari gadis itu membuat Vano tersenyum sedikit, seraya berbatin, keluarin, Len.
Rasanya dia ingin menghampiri Lena dan menemani gadis itu, namun Vano tak ingin membuat Lena tak nyaman dengan laki-laki manapun; terutama dirinya. Ia memutuskan untuk menunggu. Menunggu Lena sembuh. Dengan waktu-waktu seperti ini. Yang lambat laun menyembuhkan gadis itu, dengan Vano yang mengawasi dari jauh. Yang penting dirinya ada dari jauh menjaga Lena, cukup.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Aileena (Book 2)
RomantizmAfter everything that happens, Radian akhirnya memutuskan untuk kembali mengejar mimpinya dan menghadapi mimpi buruknya di Los Angeles, dan menutup pintu untuk orang baru, termasuk Aileena. Hari-harinya kembali dipenuhi cinta masa kecilnya, jagoan p...