Pilihan

141 4 0
                                    

Kurus.

Bimbang.

Rapuh.

Hancur.

Hal-hal itu yang selalu Ara lihat dari sosok sahabatnya. Ara menarik nafas panjang, bertanya-tanya pada pikirannya sendiri karena sang objek tidak bisa ditanyai: sampai kapan sahabatnya ini akan hancur? Apakah ini salahnya karena ia bukan sahabat yang baik?

"Enam tahun, Ian. Enam tahun. Mau tujuh tahun, malah, setelah ada Lena. Lebih lama dari waktu kuliah lo." omel Ara, tanpa melihat Radian pada awalnya, pandangannya melampau jauh ke jalanan depan cafe tempat Radian bekerja sementara kini mereka duduk di cafe besar yang sepi itu. Wangi kopi setidaknya membuat kekalutan dua sahabat itu agak berkurang.

"Lena gak salah kemarin. Itu gara-gara Vano. Dan kalo lo liat the whole frame, itu salah gue yang milih vila Ayah lo."

"Gue tau, dan setelah gue liat the whole frame, masalahnya bukan hanya itu." jawab Radian, kesal. Ara menepuk dahinya frustasi.

"Lo sadar masih belum mau buka diri ke Lena, gitu? Lo sadar lo ga secinta itu sama dia, gitu? Dan lo sekarang kembali jadi pengecut, gitu kan? Okay. Lo mau apa lagi, Radian. Oke gue gak akan maksa lo sama Lena lagi. Tapi please, decide something for your life. Enam tahun lo balik lagi ke lingkaran setan yang sama. What you will gonna do?"

Kini diliriknya Radian hanya mendecak sebal, namun tetap mendengarkan. Ara tahu benar Radian sudah muak dengannya, tapi Ara tahu benar juga kalau hanya dirinya yang bisa Radian dengarkan.

"Gue juga bingung, Ra."

Ara menunduk. Ikut frustasi. Lalu menutup matanya. Berfikir tentang semua hal, tentang sahabatnya yang sangat ia sayangi. Kilas balik masa lalu Radian, hingga Aileena. Salah dirinya kah?

"I think,.." ucapnya, perlahan. "Akar masalah dari semua ini adalah, lo yang gabisa dealing with your past, your dream, and yourself, Ian."

Laki-laki itu masih belum menatapnya. Kalut dalam pikirannya, memandang kosong ke kakinya, seolah ada sesuatu disana yang bisa membantunya memecahkan masalah.

"Mama kemarin ngomong sesuatu, Ra."

Ara mengernyit, tapi lanjut terdiam, tanda ia mempersilahkan sahabatnya bicara.

"Dia bilang dia ngizinin gue pergi."

Keheningan terjadi selama beberapa saat diantara dua sahabat itu. Kali ini Radian menatap Ara, meminta keyakinan, dan.. kekuatan.

"Lo masih mau gapai mimpi lo ya, Rad?" Tanya Ara hati-hati.

Radian mengernyit. "Gue gak tau. Empat tahun lalu gue cuma mikir nyokap, nyokap, nyokap. Gue benci bokap gue dan segala hal yang berkaitan, sampai Kintan. Tapi fakta kalau mereka bagian dari hal yang gue selalu pengen gue lakuin, itu yang tambah bikin gue frustasi, Ra."

"Ya lo jawab, lo masih mau jadi sutradara, kan? Itu kan yang slalu lo pikirin? Itu kan yang bikin lo denial dan so bahagia sama hidup lo yang sekarang? Itu yang bikin lo nutup mata sama semua kebahagiaan yang lo dapet sekarang, Ian. Karna lo masih stuck disana, Ian. Lo sutradara, dan jati diri lo itu gabisa dirubah."

Suara itu kembali. "And you're my director..."

"Sialnya, gue benci inget Kintan dan bokap gue saat gue mau melangkah balik kesana, Ra." Ujar Radian, tegas, namun penuh keputusasaan. Suara Kintan yang selalu muncul dikepalanya itu... menyakitkan. Bagaimana ia tak kalut mengingat apa yang dia inginkan akan selalu berdampingan langsung dengan apa yang dia benci? Kenapa dua orang itu merusak mimpinya? Kenapa?

Dear My Aileena (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang