Langkah

215 3 0
                                    

"RADIAN!"

Gadis itu terengah-engah mengejar sosok kurus sahabatnya yang berjalan cepat menaiki tangga, meninggalkan keramaian di belakang mereka. Kaki panjang laki-laki itu membuat langkah Ara kalah telak, secepat apapun ia berusaha.

"Rad! Bukan Lena!" Teriak Ara yang berhasil menggapai tangan Radian. Namun, laki-laki ini masih egois seperti yang ia tahu. Radian kembali menepis tangannya dan terus berjalan.

"Rad!!!" Teriak Ara, tanpa mengejar lagi, tapi kali ini teriakannya cukup membuat dirinya ngosngosan, dan berhasil membuat Radian menghentikkan langkahnya. "Gue yang punya ide, gue yang pinjem kunci ke Ibu lo. Bukan Lena. Lo kalau mau marah ke gue, bukan Lena" jelasnya, lagi, dengan intonasi yang ditekan.

Terjadi hening beberapa saat, udara hanya diisi suara nafas mereka, selama punggung bidang laki-laki itu saja yang bisa Ara lihat.

Dirinya menoleh ke taman ramai tak jauh dibelakangnya, dan sosok Aileena menghilang.

Tadi semuanya begitu cepat ㅡ dua sosok yang ia kenal saling mengejar, sementara sang gadis menangis. Entah kenapa tanpa dijelaskan, Ara tahu masalahnya ㅡAra selalu tahu. Ide memakai rumah ayahnya, yang merupakan masa lalu yang selalu Radian takuti, memang bukan ide yang bagus. Tapi mengetahui Radian sudah berani membawa Lena ke tempat ini, Ara pikir... Ara pikir semuanya akan baik-baik saja.

"Yuk, balik. Maafin gue. Lena ga salah apa-apa" ucap Ara lembut, sambil meraih tangan Radian.

Tapi lagi-lagi Radian menepisnya.

"Radian!"

"Apasih lo, Ra!"

Teriakan Radian itu membuat Ara naik pitam.

"Lo yang apasih! Bisa ga sih lo gausah main pergi-pergi!" Teriak Ara sambil menarik lengan Radian yang berniat pergi. Ia bukan wanita lemah yang Radian bisa marahi. Dirinya menoleh sedikit ke taman dibelakangnya, dimana Lena yang tadi menangis dan hampir terjatuh sudah menghilang. Ah, kenapa dia harus selalu terlibat? Tapi, kenapa rasa bersalahnya selalu hadir pada dua orang ini?

"Bisa ga sih lo gausah belain Lena!" Teriak Radian, kali ini sangat keras, membuat Ara tercenung. Dilihatnya mata Radian yang kini menunduk. Ada... ada air disana.

Kenapa? Apa yang terjadi?

"Ian? Ada apa?" Tanya Ara, perlahan. Sahabatnya itu... hancur. Mungkin tidak sampai hancur seperti enam tahun lalu, hanya saja, tatapan ini... tatapan kecewa.

"Gue gak percaya sama dia lagi. Gue gak bisa."

Kalimat itu singkat, namun diucapkan dengan jelas.

Begitu jelas, hingga Ara, orang yang selalu percaya bahwa Aileena adalah hal terpasti bagi Radian, termenung, dan membiarkan laki-laki menyedihkan itu, pergi.

Meninggalkan hal-hal yang ia tak ingin buka lagi seumur hidup.

Kini dinding yang pernah runtuh,
Sibuk laki-laki itu bangun lagi.

***

"Lena. Len. Lena."

Lena membuka perlahan matanya yang terasa bengkak, seperti habis dipukul. Dilihatnya neneknya menatapnya, sementara cahaya matahari menyentuh pucuk kepala wanita 60-an itu sehingga menyorot jelas rambut-rambut putihnya.

Dirinya bangun dan duduk perlahan, merasakan sekujur badannya yang terasa sakit. Ia menatap sedikit tubuhnya yang masih terbalut kemeja putih yang ia pakai kemarin. Sebentar... bagaimana ia sampai rumah?

"Lena.... kemarin..?" Tanyanya, masih dengan suara parau. Kepalanya begitu pusing sehingga ia masih kesulitan menata ingatan yang terjadi.

"Kamu dianter temenmu yang cewek, pulang subuh. Anak gadis, anak gadis" ucap Neneknya meringis sambil menjewer telinga Lena pelan. "Aduuh...duh"

Dear My Aileena (Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang