Radian berjalan perlahan seraya menyeret kopernya, sementara lagu terus berdentum di telinganya. Matanya mengernyit saat sinar matahari yang menembus kaca mengenai wajahnya, membuatnya semakin mempercepat langkahnya.
Ia sampai di kursi duduk, melamun seraya memegang kepalanya yang rambutnya sudah ia potong rapi. Helaan nafasnya naik turun perlahan, merenungi segala yang ia bisa renungi dari hidupnya.
Ia mengeluarkan kameranya yang kali ini selalu ia pisahkan dalam kantong kecil yang ia bawa kemana-mana, dan mengulang video-video yang ia tangkap kemarin. Dirinya tersenyum tipis menyadari sosok didalam kamera itu masih sama seperti ingatannya, cantik dengan pipi ruam merah yang ia suka, dan tawa lebarnya membuat mata misterius itu hilang.
Semuanya sudah berakhir, namun ia berharap ia bisa bertemu lagi dengan gadis ini, di lain hari. Saat ia sudah jadi sutradara, mungkin ada kesempatannya untuk akhirnya mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
"Radian."
Radian terbeku sesaat, melihat sepatu putih yang ia tahu ada didepan matanya. Suara pemiliknya sangat ia kenal.
Disana gadis itu berdiri. Dengan rambut terbelah tengah berantakan yang diurai sebahu, cardigan hitam yang menutupi dress kecoklatan yang membuat gadis itu cantik seperti biasanya.
"Aileena?"
Lalu detik-detik waktu terhabiskan dalam diam, memakan dua insan yang duduk bersebelahan itu tenggelam dalam kerinduan yang tak terucap. Suara petugas wanita bandara menyatakan pesawat yang dinaiki Radian delay tidak membuat laki-laki itu kesal, malahan sebaliknya. Berada disana, duduk bersama Lena dengan wangi jeruk vanilla yang bersatu dengan parfum mintnya itu mengembalikan ingatannya tentang hari-hari di Yellow Doors.
Mulutnya ingin mengucap kata-kata yang membangkitkan obrolan diantara mereka, yang sudah lama ia rindukan, canda tawa, Mas Toni, John Mayer, dan segalanya. Tapi terasa berat.
Tapi tangannya tak bisa menahan lagi perasaannya. Ia hanya meraih tangan Lena dan mengenggamnya, lembut dan perlahan. Hanya ingin merasakan kehangaran tangan putih kecil itu. Dan mereka berdua tertawa kaku bersamaan.
"Sehat-sehat ya." Hanya itu yang keluar dati mulut Radian. Dengan suara serak karna ia menahannya begitu parah. Gadis itu masih menunduk menatap tangan Radian yang bagi gadis itupun masih sama. Kasar, namun selalu jadi favoritnya.
"Aku magang di Mbak Strestha." Ucap gadis itu perlahan, sambil tersenyum tipis.
Radian termenung.
"Dan aku lagi bikin buku."
Radian tertawa, dengan segala perasaan yang ada dihatinya, senang, kaget, haru, namun entah kenapa ia ingin menangis.
Aileena menatap kamera di pangkuannya, dan dirinya tertawa malu. Tapi baginya yang sekarang penting bukan dirinya.
"Kalau buku kamu nanti terbit," ucapnya. "Aku boleh baca?"
Gadis itu terdiam, sementara jari kelingking mereka masih bertaut.
Banyak kata tak terucap. Banyak cerita yang ingin diceritakan, namun tertahan. Banyak perasaan dibalik jari kelingking yang tertaut kaku yang tersembunyi.
"Iya" ucap gadis itu. Tersenyum menatapnya. Kilas airmata tergenang di mata gadis itu. Sama sepertinya.
Ia ingin memeluk gadis itu.
Mengatakan bahwa dirinya menyesal dan hanya ingin menjadikan gadis itu miliknya.
Tapi ia sudah terlambat.Ada orang lain yang membuat Lena lebih bahagia.
Yang ia bisa berikan sekarang pada Aileena hanyalah doanya, yang terucap pelan dari jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Aileena (Book 2)
RomanceAfter everything that happens, Radian akhirnya memutuskan untuk kembali mengejar mimpinya dan menghadapi mimpi buruknya di Los Angeles, dan menutup pintu untuk orang baru, termasuk Aileena. Hari-harinya kembali dipenuhi cinta masa kecilnya, jagoan p...