"Home."
Setidaknya keadaan rumah yang sudah lama tak ia kunjungi ini bisa membuat perasaannya sedikit tenang.
Irish pergi ke kamarnya dan merebahkan tubuh di tempat tidurnya, yang sedikit berbeda dengan tempat tidur di Hogwarts. Ia sangat lelah dan memutuskan untuk membereskan barang-barang dari koper nanti saja.
Ia bisa mencium aroma harum dan memikat dari dapur rumah, ia yakin mamanya sedang memasak disana. Irish duduk di tepi tempat tidur, ia mengeluarkan kalung pemberian Malfoy dari saku celananya. Ia bertanya-tanya, kapan kalung ini mengeluarkan bayangan hitam? Irish ingin semua rasa penasarannya terjawab.
Setelah semua yang terjadi, tentu tak mudah untuk Irish tersenyum dan bersemangat lagi. Kematian Professor Dumbledore membuatnya teramat sedih, ditambah lagi fakta jika Draco Malfoy dalah seorang Pelahap Maut dan berpatisipasi dalam rencana keji pembunuhan Dumbledore.
"Dear! Masakan sudah siap, ayo turun!" panggil mama Irish dari dapurnya yang berada di lantai bawah.
"I'm coming Mum!" balas Irish dengan suara bergetar, ia hampir saja ingin menangis lagi jika mamanya tak memanggilnya. Gadis itu berusaha relax dan tersenyum, lalu turun ke bawah. Irish bisa melihat jika mamanya sedang menata dua piring pasta macaroni dan mojito lemon favoritnya.
Ia menarik salah satu kursi dan duduk di hadapan mamanya.
"Bagaimana kabarmu? Mom turut sedih mendengar kabar duka mengenai kepala sekolah kalian."
"Lumayan baik, Mum. Bagaimana dengan Mum sendiri?" tanya Irish balik sambil menyuapkan sesendok pasta ke mulutnya.
"Sangat baik, Mum dipercaya untuk menjadi juri di salah satu ajang pencarian bakat memasak di Australia! Mungkin, lusa Mum akan pergi."
Untuk pertama kalinya setelah kejadian malam kemarin di Hogwarts, Irish tersenyum tulus dan senang. "Benarkah? Wah, ini kabar yang sangat baik."
"Tentu saja." Meghan mengangguk. "Ngomong-ngomong, kau dan ketiga temanmu tak akan melanjutkan Tahun Ke-7 di Hogwarts lagi, ya?" Meghan menangkup dagunya.
Irish mengangguk pelan. Ia yakin Meghan mengetahui itu dari Molly Weasley dan Hermione Granger, mereka saling bertukar cerita di Hogwarts Express tadi. Namun Irish tak tahu apakah Meghan bersedia mengizinkannya untuk berhenti ataupun melanjutkan hal-hal yang berhubungan dengan sihir.
"Ekhem." Meghan berdehem. "Begini, dear, Mum ingin kau tak pergi lagi kesana, disana sangat bahaya setelah apa yang terjadi. Kau satu-satunya yang Mum punya, Mum ingin kau melanjutkan studi di dunia kita yang sudah jelas lebih aman dari dunia sihir."
"Mum, plis. Kau sudah pernah mendengarkan semua cerita tentang Hogwarts dan kedekatanku dengan Harry, Hermione, Ron. Juga tentang asramaku, bahkan aku dimasukkan ke Gryffindor yang memilih anak-anak pemberani. Aku akan aman, Mum, aku memiliki ketiga teman yang sangat hebat. Harry membutuhkan kami, Mum bisa bayangkan jika aku menjadi harry."
Meghan menghembuskan nafasnya. Ia sudah tahu jika Irish tak akan mau menuruti permintaannya. "Apa kau bisa menjamin jika kau tidak akan kenapa-kenapa?"
"Bisa," balas Irish mantap. "Aku bisa melawan mereka, lagian kami tidak akan melawan mereka secara terang-terangan."
Meghan membelai lembut rambut Irish. "Baiklah, kini terserah padamu. Aku yakin kau seorang Graflindor sejati."
Irish terkekeh pelan mendengar itu. "Gryffindor, Mum..."
***
Sinar matahari menembus jendela kamar seorang gadis yang masih tertidur nyaman di tempat tidurnya. Merasa terganggu dengan silaunya sinar matahari itu, mau tak mau ia menyibak selimutnya dan mengerjapkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Choice | Draco Malfoy
FanfictionDi Tahun Keenam, hari-hari Irish diisi oleh Draco Malfoy. Namun ada banyak hal yang menghalangi mereka untuk bergandengan tangan, tapi Irish dan Malfoy selalu berusaha mempertahankan hubungan, sampai akhirnya mereka paham bahwa mereka tak punya pili...