24. Retrouvailles

216 10 1
                                    

Cerita ini absurd abis, makaci dah mau baca :)

***

Celana abu-abu itu tak rupa bentuknya. Kusut akibat kepalan tak beraturan sebagai pelampiasan.

Nicho meninju-ninju pohon yang dibuatnya berlindung. Ingin rasanya ia memasukkan pohon itu ke mulut Reyga, daripada mulut itu mengucapkan kalimat yang membuat amarahnya memuncak.

Reyga nembak Achel. Begitulah yang dapat ia tangkap dari topik mereka saat ini.

Ia akhirnya menarik napas panjang. Meredakan emosi agar tak melukai pohon di depannya. Ia pun tampak serius mengamati mereka karena Reyga terlihat ingin memulai pembicaraan lagi.

Achel mengedarkan pandangannya. Nicho sontak mendelik. Untung saja tubuhnya tak sebesar gajah, jadi aman berlindung di balik pohon itu.

Perlahan-lahan ia mengintip, takut kalau Achel masih memantau keadaan sekitar. Sepertinya gadis itu jengah. Namun Nicho hanya bisa diam menunggu mereka kelar. Karena pada dasarnya, dia bukan siapa-siapa Achel.

"Achel, aku mau gombal."

Achel mengerutkan keningnya, sesaat kemudian mengangguk.

"Bapak kamu maling ya?"

Achel berdiri melototkan matanya, telinganya panas seketika. "MAKSUD KAMU APA?!!"

Reyga ikut berdiri, mengibaskan tangannya. Mengipasi Achel yang telinganya memanas. Namun kipasan tangannya tak berpengaruh sama sekali.

"Tenang dulu dong, maksud aku, itu tadi gombalannya," ucap Reyga panik. Lalu menitah Achel untuk duduk kembali.

"Oh, jadi itu gombalnya. Bilang dong," cengir Achel.

Di satu sisi, Nicho menyendukan tatapannya. Ada rasa tak terima melihat gadis pujaannya tersenyum bersama orang lain. Matanya menolak.

"Ya udah lanjut, cepetan," perintah Achel.
"Males lama-lama sama kamu," tambahnya dalam hati.

"Bapak kamu maling ya? Soalnya kamu udah nyuri hati aku."

Nicho berlagak seperti orang mual. Siswa yang melewatinya menatap heran. Sesekali bergidik ngeri. Karena ia mual memuntahkan udara.

Kembali ke Achel, ia sama sekali tak tersentuh oleh gombalan Reyga. Berbeda dengan Reyga yang meringis karena gugup.

Achel bersikap seperti tak ada apa-apa. Seolah-olah Reyga diam saja sedari tadi.

Suara jangkrik mulai terdengar. Para semut yang berbondong-bondong memikul makanannya pun terlihat. Achel baru saja mencoleknya dengan sepatu yang dikenakannya.

"Semangat semut cantik. Eh, kamu perempuan bukan sih?" celutuk Achel. Wajahnya datar seakan-akan apa yang diucapkannya adalah hal yang wajar.

Reyga memijat keningnya. Susah sekali mengajak gadis manis ini serius. Entah mengapa dirinya selalu ada topik lelucon.

"Kak?"

Reyga mengedipkan matanya berkali-kali saat Achel menolehnya. Cantik, manis, mempesona, itu yang dapat dideskripsikan dari wajah Achel. Reyga mengangumi itu.

"Kak Reyga nembak aku ya?" tanya Achel. Frontal.

Reyga mengangguk pelan, "iya."

"Oh."

"Achel nolak?" Reyga meremas-remas celana abu-abunya gugup.

"Emang Kak Reyga nawarin Achel apaan?"

Reyga menepuk jidatnya. Rasa kesal bercampur gugup membuatnya pening.
Kalau saja ia tidak menyayangi gadis ini, ingin rasanya ia menelan hidup-hidup.

Ia mencoba sabar. Menarik napas panjang kemudian diembuskan perlahan. "Achel mau jadi pacar Kakak?"

"Ya enggak lah."

Nicho terkikik geli dengan kedua sosok yang diamatinya. Rasa senang membuatnya kelepasan tertawa. Hingga Achel menolehnya.

"NICHO!!"

"Yah, ketahuan."

***

"Aduh, sakit Achel."

Nicho mengelus-elus telinganya.

"Hobi jewer masih berlaku ya?" tanya Nicho pada gadisnya.

"Siapa yang suruh nguping? Siapa coba? Siapa? Jawab ih!" Achel kesal sendiri.

"Gimana mau jawab, kamu aja--"

"Jawab Nicho!" bentak Achel. Entahlah, hari ini moodnya kurang baik.

"Apa? Nggak percaya kalau Achel bakal jaga hati? Takut kalau Achel macem-macem?" serbu Achel. Napas gadis itu memburu. Rahangnya mengeras. Kesal sekali. Kurang apa lagi untuk menyakinkan Nicho bahwa ia masih mengharapkan sosok itu?

"Maaf."

Setelah mengucapkan itu, Nicho meninggalkan Achel. Punggung kekarnya itu menjadi tempat berlabuh lelahnya. Sandaran ternyaman dan tak ada duanya.

Tatapannya terpaku pada Nicho yang kian menjauh. Ada rasa sesak menatap sosok itu pergi. Memutar kembali pada kejadian tujuh bulan yang lalu. Bandar udara yang amat dibencinya. Tempat perpisahan itu enggan sirna dari otaknya.

Achel masih ingat masa itu. Kehilangan seseorang yang amat dicintainya. Saat seseorang itu pamit untuk kepergiannya dan berkata akan pulang. Sekarang, Achel berada pada masa kepulangannya. Namun, mengapa pertemuan kembali rasanya tak sempurna? Ia pikir ia akan berhari-hari, bersenang-senang bersamanya. Lantas mengapa pertemuannya terasa biasa saja? Justru malah membuat dadanya sesak.

Retrouvailles. Nyatanya momen itu tak seindah seperti di novel yang kemarin Achel baca.

Punggung itu tak lagi terlihat. Achel menunduk. Tatapannya sayu. Ia memang seperti ini. Sifat kekanak-kanakannya masih berlangsung sampai sekarang. Achel sadari itu.

Ia berbalik. Entahlah. Ia rasa pertemuannya dengan Nicho tak berarti. Lebih baik ia tidak dipertemukan tetapi baik-baik saja daripada dipertemukan namun retak.

Ia pikir Nicho akan mengajaknya balikan. Membawanya ke tempat-tempat romantis, berdua menikmati senja seperti dulu. Buku pelajaran yang selalu menjadi obat nyamuk kini tidak ada lagi.

Langkahnya terhenti di tepi parkiran saat melihat sepasang kekasih berpelukan. Tak mempedulikan kendaran yang berlalu lalang. Sepasang kekasih itu tampak saling merindukan. Lelaki itu mengenakan seragam putih dan menggendong tas.

Air matanya jatuh. Achel dapat menangkap jelas makna apa yang baru saja dilihatnya. Yakni sepasang kekasih yang dipertemukan kembali. Seperti dirinya. Hanya saja terdapat satu perbedaan, yaitu status. Karena ia, sudah putus dengan Nicho.

Seharusnya Achel seperti sepasang kekasih itu. Tetapi mengapa ia malah marah-marah tidak jelas? Ah, Achel menyesal.

Penyesalan memang datang di akhir bukan?

Achel mencoba menelepon Nicho tetapi tidak diangkat. Yang Achel takutkan bukan Nicho akan kembali pergi meninggalkannya. Tetapi kemarahan sosok itu. Achel takut ia marah.

"Maaf kalau Achel egois."

***

Nicho mengusap rambutnya kasar. Ia juga memijat keningnya.

Penat.

Nicho kemudian mengecek ponselnya. Beberapa kali Achel memanggilnya namun ia terpaksa mengabaikan. Kemudian beralih menatap kalender di meja belajarnya beberapa detik. Sesaat kemudian ia tersenyum.

Hampir saja ia melupakan tanggal istimewa itu. Ia melangkah panjang guna mengejar waktu. Hampir saja ia terlambat.



Bersambung.

Apa Kabar Rindu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang