Selama setengah jam terakhir, konvoi mobil jeep itu telah menembus jalanan berbatu dan kini memasuki aspal halus menuju Mansion kediaman keluarga klan Akatsuki. Semua kendaraan yang awalnya berisik dengan suara-suara goncangan kini mulai terdengar halus. Tanah luas bertaman bunga itu di tengahnya di aliri sungai yang sangat jernih, roda-roda off-road mobil jeep kini memasuki jembatan besi di atas sungai tersebut. Luas tetapi tidak mengalirkan air yang deras. Kawanan rusa terlihat sedang meminum air di sana, tak jauh darinya ada beberapa buaya yang sedang mengintai di dalam air dan sebagiannya berjemur di pinggiran sungai tersebut.
Balqis berusaha sebaik-baiknya bersikap tenang dan menikmati pemandangan dalam suaka cagar buatan itu. Sambil bersandar, ia memandangi langit siang itu. Cerah dan berawan di bawah langit biru, matahari sudah melewati kepalanya dan condong ke arah barat menandakan sore akan segera tiba. Ia sebentar memejamkan mata dan mengambil nafas dalam-dalam, kemudian dia membuka matanya kembali saat kendaraannya itu mengurangi kecepatan hingga akhirnya berhenti.
"Kita sudah sampai." ucap Maeda di kursi depan. Balqis mengamati sekelilingnya, begitu indah dan alami terjaga. Maeda kini beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari kendaraan mereka, pengawal yang berada di samping Balqis memegang keras lengan Balqis dan menariknya ke luar, Balqis tak menyukainya. Dia berusaha untuk tetap mengatur keseimbangan tubuhnya agar tidak terjatuh karena tangannya masih terikat. Pengawal itu selalu tersenyum mengejek setiap melihat Balqis merasa kepayahan, matanya yang liar selalu memperhatikan buah dada Balqis yang memperlihatkan belahan yang menggoda. Balqis merasa jijik melihat pengawal itu.
Segerombolan pengawal berseragam loreng biru dan hitam, dipimpin oleh laki-laki kurus dan tinggi dengan setelan serba putih, Kenji. Seperti yang Maeda kenakan, celana dan kemeja linen putih yang di setrika dibalik jubah putih dengan kerah panjang, sepatu kulit berwarna putih dan kardigan putih. Kenji menatap tajam pada Balqis, sorot matanya membuat Balqis menunduk tak berani menatapnya. Dalam benaknya lebih baik cari aman daripada membalas tatapan yang dirasanya adalah kebencian dari Kenji terhadap Balqis.
"Selamat datang di Istana keluarga kami, keluarga Akatsuki." ujar Maeda yang lebih lembut dan formal. Maeda melayangkan senyum di wajah manisnya seperti biasa, terlihat anggun dengan tubuh yang indah.
"Lepaskan ikatannya." perintah Maeda pada pengawal yang dari hutan selalu mendampingi Balqis, si pengawal segera membuka tali yang mengikat pergelangan tangan Balqis, namun matanya tetap saja melihat belahan dada Balqis.
"Mari, ikuti aku ke arah sini." ujar Maeda. Balqis menggosok-gosokkan pergelangan tangannya yang masih perih bekas ikatan tali, berharap dengan apa yang dilakukannya dapat mengurangi rasa sakitnya itu. Saat melewati pengawal tersebut, tiba-tiba pantatnya di remas sehingga Balqis secara spontan menampar pipi pengawal tersebut. Bukan kemarahan yang dia dapat tetapi malah jadi bahan tertawaan oleh hampir semua pengawal. Maeda yang berbalik menatap tajam semua pengawalnya dan mereka pun terdiam melihat raut wajah Maeda.
Maeda mempimpin mereka menyusuri lorong. Di belakangnya Kenji dan para pengawal menggapit dan mengiringi sepanjang jalan kerikil. Balqis mendengar langkah teratur yang lembut dari sesuatu yang besar, meneros lewat semak-semak beberapa meter dari jalan kerikil itu. Walau begitu berat, bentuknya tidak dapat dilihat. Hutan itu menyediakan cukup perlindungan jika dia berlari kesana.
Kesempatan itu tak pernah muncul, jalan itu berakhir setelah hanya 45 meter. Beberapa langkah lagi dan rimba itu tertinggal di belakang mereka. Hutan tersebut berakhir di hamparan tanah berumput yang dipotong rapi. taman air yang menari dengan aliran sungai dari sungai besar yang sempat dia saksikan tadi. Kolam dan anak sungai bergemericik. Air terjun kecil menggerojok. Seekor kijang bertanduk panjang mengangkat kepala saat mereka muncul., terdiam sesaat, lalu mengambil langkah seribu, melompat ke jantung Hutan.
Langit di atas cerah, dengan beberapa awan putih yang saling bergerombol. Tapi ke arah barat , cahaya lembayung senja menandai kedatangan sore. Mungkin satu jam lagi. Di seberang taman, menjulang rumah besar berlantai enam yang dibangun dari tumpukan batu dan kayu eksotis. Luasnya pasti tidak kurang dari empat hektare, menjulang dengan dinding segitiga atap dan deretan bertingkat, sejumlah balkon dan pagar jeruji. Sungguh menakjubkan bangunan itu terlihat dari dekat.
Mereka berjalan menuju rumah mewah tersebut, di seberang jalan batu yang membelah taman air dan melengkung di atas kolam dan sungai kecil. Seekor ular sepanjang empat meter merayap pelan di seberang salah satu jembatan batu. Sanca kembang, ular itu bertubuh besar dengan motif-motif mirip batik. Maeda menunjuk dua orang pengawal untuk menyingkirkannya dari jembatan batu tersebut.
Mereka mulai berjalan lagi, Balqis melihat jalan kecil di atas hutan. Jembatan gantung berpapan kayu, menyebar keluar dari lantai-lantai atas, sehingga memudahkan seseorang keluar dari lantai atas ke dalam kanopi rimba itu sendiri. Jembatan gantung itu di lengkapi lampu membentuk konfigurasi di segenap penjuru belantara yang gelap. Balqis melihat di sekelilingnya, lampu-lampu itu berpijar kemana-mana.
Balqis melihat seorang penjaga yang muncul membayang di bawah salah satu lampu di jembatan gantung tersebut, dengan senapan di bahu. Dalam benak Balqis, tak mungkin hanya seorang. Sepasukan pengawal bisa jadi bersembunyi di sana, peluang untuk melarikan diri jadi semakin mengecil.
Akhirnya, mereka sampai di serangkaian anak tangga menuju beranda lebar dari kayu mengkilap. Balqis melihat banyak pengawal yang berjaga di setiap sudut rumah, mereka mencangklong senapan di bahunya dan mengenakan baju loreng bergaris biru hitam. Perawakan sedang dan berkulit sawo matang, mereka hanyalah para pengawal lokal bayaran. Dengan tampang sangar dan sadis, tanpa ekspresi.
Maeda menghentikan langkahnya, sehingga semua ikut berhenti termasuk Balqis.
"Oya, nama kamu Balqis kan?" Balqis mengangguk. "Hari ini melelahkan, sebaiknya kau membasuh diri dan cobalah beristirahat sebentar."
"Nanti malam akan aku jemput untuk makan malam bersama keluarga yang lain." ujar Maeda, "Jadi aku harap kamu bisa memanfaatkan waktu istirahatmu.
"Bolehkan aku minta sesuatu?" tanya Balqis,menatap ke mata Maeda yang masih tersenyum padanya.
"Silahkan, katakanlah."
"Pahaku terluka, aku hanya ingin beberapa obat untuk membalut dan menyembuhkannya." ujar Balqis.
"Tenang saja, semua akan kami siapkan. Para pengawal akan membawakan permintaanmu." jawab Maeda. "Ada lagi?" lanjutnya. Balqis hanya menggeleng.
"Kini kalian bisa ke pos masing-masing, kecuali kamu dan kamu." tunjuk Maeda kepada dua orang pengawal. "Kalian berdua antar nona Balqis ke kamarnya, nanti seorang pelayan akan membawakan baju dan makanan untuknya." lanjut Maeda.
"Sudah mengerti semua?" Semua pengawal mengangguk tegas. "Bagus, sekarang bubar." perintah Maeda. Semua pengawal bubar jalan berpencar sedangkan dua pengawal berjalan di belakang Balqis sambil menodongkan senjatanya ke punggung.
Balqis menoleh ke arah Maeda yang kini bersama dengan Kenji, wajah mereka terlihat serius dan terkadang ada bentakkan dari Maeda. Balqis tak mampu mendengarkan apa yang mereka diskusikan, tetapi dari cara mereka berbicara sesuatu serius telah terjadi. Sesuatu yang membuat perubahan sikap Maeda. Sodokan moncong senjata dari pengawal membuat Balqis harus bergerak lebih cepat dan meninggalkan Maeda dan Kenji.
Setidaknya saat ini keselamatan lebih penting, menunggu bantuan untuk menjemputnya, walau dia tak tau entah kapan.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
LOLONGAN
Mystery / ThrillerMisi penyelamatan sepasang suami istri yang sedang mengandung pada sebuah kecelakaan di daerah terpencil di sebuah wilayah yang berdekatan dengan lahan pribadi milik keluarga keturunan Jepang, berujung dengan kecekaman yang membuat para penyelamat m...