Chapter 13: Jalan Pulang.

28 15 0
                                    

Tidak ada percakapan apapun diantara penumpang mobil yang melaju di atas jalan berbatu itu. Balqis tetap memandang keluar jendela mobil yang menjadi kendaraan menuju jalan pulang bagi penawannya, bukan jalan pulang untuk dirinya.
Dia rindu kasur empuk dalam kamarnya yang cukup luas, berdinding biru langit dan berlantai keramik yang ditutupi karpet. Dia ingin segera mandi air hangat untuk melepaskan kelelahan yang menghinggap di tubuhnya.

Upaya untuk menyelamatkan seorang wanita melahirkan yang berujung kengerian hari-hari yang dilaluinya, sekarang dia malah menjadi tawanan orang-orang non pribumi keturunan jepang yang menetap di wilayah lahan pribadi milik keluarga klan Akatsuki. Percuma bila dia kini menyesal, toh itu sudah jadi kewajiban dia sebagai seorang bidan untuk menolong seseorang yang akan melahirnya.
Di buru makhluk buas dan menjadi tawanan bukan lah bagian yang umum buat dirinya. Ikuti saja alur takdirnya, mau dibawa kemana nasibnya nanti.

Di sampingnya, salah satu pengawal duduk mengawasinya sambil menodongkan senapan, kedua matanya tak pernah berpaling ke arah lain. Entah apa yang ada dalam pikiran pengawal itu, matanya seakan selalu meneliti tiap lekuk tubuhnya. Terkadang ia tersenyum dan menjulurkan lidah membasahi bibirnya yang hitam, terkadang manik lehernya naik turun menelan ludah. Membuat Balqis risih dan jijik  melihat kelakuannya.

Balqis mengalihkan pandangannya ke kursi depan, disana Maeda duduk di samping pengawalnya yang mengemudikan kendali laju mobil mereka yang memimpin. Seakan tahu akan ketidak-nyamanan penumpangnya atas goncangan yang terjadi, Maeda meliriknya dari kaca spion dalam mobilnya.

"Jalanan disini jarang dilalui kendaraan darat, sehingga setiap harinya akan tertutup oleh semak-semak dan bebatuan yang turun terbawa air dari atas." ujar Maeda.
"Tak ada upaya perbaikan, malah membuat jalan ini semakin rusak parah." lanjutnya.
"Bukankah ini wilayah pribadi, seharusnya keluargamu lah yang memikirkan itu semua." jawab Balqis.
"Benar, ini memang wilayah lahan pribadi milik keluarga kami. Tetapi jarangnya kami keluar lewat jalan ini membuat tak berpikiran untuk membangun kembali menjadi lebih baik."

Maeda mengulurkan tangannya ke belakang. "Aku rasa kau butuh ini," Balqis melihat sebotol minuman yang ditawarkan. "Kau pasti belum membasahi tenggorokanmu dari kemarin." lanjut Maeda. Mata Balqis cuma memandanginya.
"Jangan berfikir minuman ini ada racunnya. Percayalah, jika aku ada niat untuk membunuhmu, kenapa tidak dari tadi saja aku tembak kepalamu itu."
Balqis akhirnya mengambil botol minuman itu dengan kedua tangannya yang masih terikat.

LOLONGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang