Matahari kini berada tepat di atas kepalanya, menyengat dan membakar kulit sawo matang yang melindungi daging di bawahnya. Telapak tangan yang besar mengusap wajah dengan kerutan-kerutan di pinggiran ujung mata dan dahinya, di bawah rambut hitam dengan beberapa helai rambut yang mulai memutih. Jakunnya naik turun, ada rasa kekeringan di tenggorokan yang ingin segera ia basahi dengan seteguk air. Matanya kini menoleh ke arah seorang petugas dengan setelan oranye yang mendekat ke arahnya.
"Pak, dia sudah sadar" ujarnya singkat. Anggukan kepalanya membuat sang pelapor kembali berbalik dan menunggu dirinya berjalan di depan. Langkah kaki berat dengan sepatu boot menderakkan batu-batu kerikil yang di pijaknya. Dia menuju barak berwarna hijau yang disamarkan dengan dedauan yang terlindung di bawah pohon bercabang dan ranting berdaun lebat. Seseorang membukakan tirai dan mempersilahkannya masuk setelah memberi hormat.
"Bintang, kau sudah sadar nak." ucap Tedy, Komandan kepolisian yang kini berada di samping sosok yang tersadar dari pingsannya. Bintang yang terbangun dari pingsannya itu perlu beberapa saat untuk mengaitkan kembali nama itu dengan dirinya, tak mudah. Sebuah erangan terdengar ditelinganya, dalam suaranya sendiri. Komandan Tedy membantunya duduk.
Bintang merasakan tubuhnya diangkat hingga terduduk lemah, diganjal dengan bantal. Pandangannya mulai sedikit stabil. Ia sedikit meronta, merasakan sakit di sekujur tubuhnya, terutama diperut bagian kanan. Ia melihat lengan kanannya telah dipasangi selang infus, terhubung dengan sekantung cairan pekat berwarna merah yang di gantung pada salah satu besi penopang barak tersebut.
Disatu sisi, seorang lelaki berbaju putih dengan ban terpasang dilengan berlambang tanda plus berwarna merah sedang sibuk memeriksa denyut nadinya. Disisi lain, sosok yang dikenalnya, Komandan Tedy memegang lengannya, meletakkan kembali di atas selimut dengan corak garis-garis memanjang yang tak begitu tebal, Bintang telanjang di bawahnya dan keringat membasahi kain itu.
"Di mana aku.. apa yang.. uhuk.. uhuk.." tanya Bintang dengan suaranya yang parau.
"Minumlah, kau bisa memegangnya?" tanya Komandan Tedy menyerahkan botol air.
Bintang mengangguk dan menerima botol yang diberikannya, dengan kekuatan yang berangsur-angsur pulih. Ia mengangkat botol itu dengan tangan kiri dan mulai menenggak air hangat, mengendurkan lidah yang kelu dan juga ingatannya yang sempat hilang karena sakit kepala yang di deritanya akibat terlalu banyak darah yang hilang dari tubuhnya.Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang, tangannya kirinya menyusuri selang infus yang terpasang di tangan kanannya, dia mencoba melihat satu persatu bagian tubuhnya, luka-lukanya kini telah di obati dan sehelai perban yang lebar menempel di perut bagian samping kanan. Ia teringat akan semuanya, luka-luka parah yang dia terima dari amukan Serigala yang hampir menewaskannya. Ada raut kesedihan menyelimuti wajahnya ketika teringat sahabatnya, Han.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Bintang. Seorang petugas dari Dinas Kemanusiaan yang ia kenal bernama Feri Dewantara, salah satu rekan kerja tempat dimana Bintang dan Han mengabdi kini menjelaskannya. Setelah berjam-jam mereka menelusuri jalanan, hutan serta tempat-tempat lain untuk mencari keberadaan Bintang dan yang lainnya tanpa hasil apapun, pagi tadi Feri dan rekan-rekan team penolong lainnya telah menemukan tubuh Bintang dengan luka di sekujur tubuhnya tergeletak di pinggiran sungai kecil di bawah curamnya tebing berdekatan dengan wilayah lahan pribadi milik keluarga klan Akatsuki.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOLONGAN
Mystery / ThrillerMisi penyelamatan sepasang suami istri yang sedang mengandung pada sebuah kecelakaan di daerah terpencil di sebuah wilayah yang berdekatan dengan lahan pribadi milik keluarga keturunan Jepang, berujung dengan kecekaman yang membuat para penyelamat m...