Chapter 16: Menerobos Kabut.

56 13 71
                                    

Langit kini telah menjemput malam, meninggalkan Bird of pray di kaki langit sebelah barat berwarna jingga yang menipis berganti sedikit demi sedikit menjadi gelap, kicauan burung telah sirna berganti serangga-serangga malam bersuara saling bersautan terdengar di rimbunnya semak belukar di bawah pohon-pohon tinggi penopang langit. Pandangan mulai tersamar dengan kabut tipis yang mendinginkan suasana, di tambah hembusan angin malam yang kini semakin terasa merasuki tubuhnya hingga menyentuh tulang-tulangnya serasa beku.

Mendadak kegelapan semakin pekat saat mereka menembus udara yang berkabut, mereka menuruni lereng yang luas dengan udara yang semakin dingin. Tak ada penerangan kecuali dari cahaya bulan purnama penuh sehingga terlihat lebih besar daripada biasanya yang kini muncul di sebelah timur semakin jelas. Terkadang bulan itu menarik perhatian Naru yang berjalan di sebelah Han, monjongnya di arahkan ke Full Moon tersebut. Usapan Han yang lembut di bulu putih saljunya, membuat Naru untuk tak melolong menatap bulan purnama itu. Bintang berjalan di belakang mereka.

Aroma tanah basah tempat kakinya berpijak menusuk masuk ke dalam hidung Bintang, menyegarkan tetapi membuat sedikit perih karena udara yang makin dingin. Apalagi tubuhnya kini hanya berbalut kemeja saja membuat terasa dingin membeku kulitnya sampai tembus ke dalam tulang. Setiap hembusan nafasnya mengeluarkan asap kabut yang terlihat jelas, bukan hanya dari hidungnya tetapi juga dari mulutnya. Tetap saja udara yang sangat dingin tak terelakkan saat suhu menurun. Gigi-geligi Bintang bergemeratak, dalam pikirannya berbicara hanya membuang-buang nafas dan panas tubuh saja.

Suasana malam ini sungguh sunyi, tak ada binatang apapun yang mereka temui di hutan itu, hanya serangga-serangga malam yang terus berbunyi tanpa memperlihatkan wujudnya. Ditambah keberadaan Naru diantara Bintang dan Han membuat penghuni hutan enggan mendekat kepada mereka, naluri untuk menjauhi predator tersebut seperti yang di lakukan Bintang dan kawan-kawan sebelumnya.

Naru berjalan menaiki jalanan yang terjal, di penuhi bebatuan besar dan bahaya licinnya batu tersebut karena basah terkena embun kabut malam itu. Semakin tebal kabut dan menyamarkan apapun pandangan yang ada di depan mereka. Gelombang awan yang bergerak dan membatasi penglihatan tinggal beberapa meter saja. Membingkai senja kelabu yang aneh. Namun setidaknya mata mereka masih bisa melihat samar-samar jalan yang mereka tempuh, dengan bantuan cahaya sedikit dari bulan purnama.

Naru yang melompat ke atas batu besar membuat Han kaget karena pandangannya yang kabur akibat tebalnya kabut malam itu, mencari Serigala raksasa berbulu putih itu yang menghilang dari pandangannya. Han mempercepat langkahnya dan hanya beberapa langkah, sebuah tebing dari balik kegelapan yang terlindung oleh kabut yang semakin tebal membuatnya hampir celaka. Hampir saja Han terperosok ke dalam curamnya jurang di bibir tebing itu andai tak segera tangan kanan Bintang meraih kaos yang Han kenakan dan menarik ke belakang.

"Perhatikan langkahmu, Han. Berhati-hatilah dalam kabut gelap ini." ucap Bintang melepaskan genggaman tangannya dari kaos Han.
"Naru, kemana langkah dia pergi?" tanya Han dengan panik
"Tenanglah, lihat dia ada di atas batu besar itu." jawab Bintang menunjuk bayangan samar-samar tubuh Naru, Han menghela nafas lega.
"Kau hampir kehilangan akal sehatmu melihat kekasihmu pergi dari sisimu." goda Bintang meninju lengan Han. Han hanya meringis mendengarnya.

LOLONGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang