Memori itu ada untuk dikenang.
-I N V O L U T E-
Cuaca dingin pagi ini membuat siapa pun enggan untuk meninggalkan tempat tidur. Bahkan enggan untuk melakukan aktivitas apa pun.
Seperti yang saat ini tengah Ruby lakukan, ia terbaring ditempat tidur dengan ditutupi selimut tebal. Meski Ruby sudah bangun sejak tadi, namun tubuhnya enggan beranjak dari kasur.
Ruby mengenal Reynand sejak mereka duduk di bangkus sekolah dasar. Awalnya biasa saja, mereka hanya saling kenal nama karena sering berada di kelas yang sama.
Kedekatan mereka bermula pada hari itu, kala Ruby sedang menggambar di taman sekolah, namun tidak ada angin tidak ada hujan, Reynand menubruk dirinya yang tengah duduk manis sendirian.
Lalu apa yang terjadi?
Buku gambarnya jatuh dengan mengenaskan.
Seolah itu saja belum cukup, minuman yang Reynand bawa tumpah di atas gambarnya. Mengakibatkan gambar yang hampir sempurna itu rusak karena warnanya bertubrukan dan menjadi abstrak.
"Kamu punya mata nggak sih?!" Hidung Ruby sudah kembang kempis menahan tangis.
Reynand melongo. "Maaf maaf, Rey nggak sengaja sumpah!"
Ruby mengabaikannya dan berlalu begitu saja.
Niatnya, Ruby ingin menghindari bocah laki-laki itu, namun entah kesialan atau keberuntungan karena Reynand setiap hari mencegatnya dengan membawa kotak berisi roti atau salad sebagai permintaan maafnya walau sering gadis itu tolak mentah-mentah.
Akhirnya ya... Ruby terima dengan alasan terpaksa.
Semenjak hari itu, Reynand sering menghampiri Ruby yang biasanya sering menyendiri.
"Aku boleh duduk di sini nggak?" tanya Reynand sembari memegang kotak bekal yang ia bawa.
Ruby yang tengah memakan nasi goreng buatan mama meliriknya sekilas, lalu menjawab, "Nggak."
Namun seperti yang bisa ditebak, Reynand tetap duduk meski sudahditolak.
Reynand selalu mengikuti ke mana pun Ruby pergi hingga membuat gadis itu risi. Meski dilain sisi, kehadirannya memberikan warna baru bagi hari-hari Ruby. Membuatnya terbiasa dengan kehadiran Reynand, dan tanpa sadar, membuatnya menjadi bergantung pada bocah laki-laki itu hingga sekarang.
Seolah tanpa Reynand, Ruby akan kesepian.
Seolah tanpa Reynand, warna yang sudah ada akan berantakan.
Entah sejak kapan tepatnya, persahabatan itu terjalin hingga sekarang. Dan berujung perasaan semu yang membelenggu tanpa bisa dicegah. Mungkin karena terbiasa bersama, perasaan itu tumbuh begitu saja. Meski Ruby tahu itu hal lumrah bagi laki-laki dan perempuan yang bersahabat cukup lama.
Ruby tahu kisahnya amat sangat klise. Entah akan berakhir bersama atau tidak, Ruby berharap segalanya akan tetap baik-baik saja.
Ruby beringsut duduk, menatap pada satu-satunya foto yang diambil bersama Reynand kala hari kelulusan SMP mereka. Meskipun hampir setiap hari mereka bertemu, namun mereka terbilang jarang mengabadikan foto bersama.