Rindu itu kejam, asal kau tahu. Obatnya hanya satu, yaitu bertemu. Jika tidak bisa bertemu? ya cukup kau simpan dalam kalbu.
-Mansy Azalea Ruby-
Ruby tidak pernah menyangka, bahwa hubungannya dengan Nadhif akan kandas begitu saja hanya karena permainan lempar koin yang cowok itu ciptakan.
Ruby sendiri bahkan bingung dengan perasaannya sendiri. Haruskah ia merasa senang saat ini? Sebab beban yang selama ini ia tahan telah luluh lantak karena keadaan. Ruby tak perlu mencari banyak alasan agar tak terikat hubungan lagi dengan Nadhif.
Tapi mengapa, rasanya seperti ada yang hilang dari hidupnya?
Beberapa hari ini nama Nadhif telah menyita pikirannya. Sejak hubungannya berakhir, Nadhif bahkan jarang terlihat di lingkungan sekolah. Ia jarang ikut bergabung di kantin dengan teman-teman yang lain.
Juno bilang bahwa Nadhif lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berada di kelas. Nadhif menjadi sosok yang berbeda yang lebih cenderung pendiam.
Terkadang Ruby merasa menjadi perempuan yang paling jahat karena telah menyakiti laki-laki sebaik Nadhif. Namun, mau bagaimana lagi. Ia tidak bisa mempertahankan hubungannya dengan segala kepalsuan.
“Met,” panggil Ruby sembari menggoyangkan tangan Meta yang tengah di lipat sebagai tumpuan untuk tidur di atas meja.
Meta mendongak dengan wajah setengah kesal. “Apaan?”
"Lo pernah ngerasain kangen seseorang gitu nggak sih? kaya... sampe kepikiran terus menerus gitu." Ruby menopang dagunya dan meniup poni panjang yang menutupi sebagian wajahnya.
"Sering banget sama aa Juno!" Meta menjawab menggebu-gebu.
Ruby menghela napasnya lelah. Ah, sepertinya Ruby salah mengajak orang untuk curhat. Meta memang sulit untuk bersikap waras untuk sebentar saja. "Serah lu, Met."
Venus yang semula asik dengan novelnya, kini ikut nimbrung di antara keduanya. "Ngomongin apa hayo?"
"Tuh si Ruby lagi kangen mantan kayanya."
Ruby melotot kemudian menggeplak kepala Meta dengan kencang hingga gadis itu mengaduh kesakitan. "Bacot kau, jamet."
Meta mencibir pelan. "Kalo kangen mah bilang aja, By."
"Hm, jadi kali ini hati lo bermasalah lagi?"
"Gue, cuma... apa ya, duh gue bingung ngomongnya." Ruby menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan meringis.
Venus tetap diam, menunggu sahabatnya melanjutkan kembali apa yang ingin ia sampaikan.
"Wajar nggak sih gue kangen Nadhif?" Ruby tampak gelisah di tempatnya. Matanya berkeliaran mencari sesuatu yang menarik untuk di tatap, namun tidak ada yang bisa mengalihkan segala pikirannya yang sedang tak karuan.
Venus tersenyum kecil. "Wajar aja. Biar gimanapun juga lo udah ngejalin hubungan selama hampir setengah tahun sama Nadhif. Dan itu bukan waktu yang sebentar. Lo udah terbiasa sama dia. Jadi, wajar aja pas sekarang kalian mulai berjauhan, lo merasa ada yang hilang."
Ruby tercenung, Venus menghela nafas dan tersenyum menenangkan.
"Kan gue udah pernah bilang, cinta datang karena terbiasa,” celetuk Meta.
“Mungkin lo gak nyadar kalo selama ngejalanin hubungan sama Nadhif, secara gak langsung lo ngebiarin perasaan lo ikut hanyut dan pindah haluan ke dia. Lo udah terbiasa dengan adanya dia." Venus kembali melanjutkan ucapannya.
Ruby tertegun mendengar penuturan Venus yang cukup masuk akal. Jadi, apakah saat ini Ruby mulai mencintai Nadhif?
Lalu bagaimana dengan perasaannya kepada Rey?
Apakah masih sama?
Ruby merasa masih membutuhkan Rey sebagai tamengnya. Namun saat ini ia juga merasa membutuhkan Nadhif. Mengapa hatinya harus se-serakah itu sih?
"Terus, gue harus apa?" tanya Ruby pada akhirnya seraya membuka tas dan mengambil satu kotak susu vanilla yang tadi pagi di belikan oleh Reynand.
“Bilanglah ke orangnya!” saran Meta.
“Dih, apa nggak aneh?”
“Nggak akan tahu hasilnya kalo belum dicoba, By.” Venus tersenyum penuh arti.
Ruby diam, dadanya bergemuruh tak karuan. Meta yang menyadari perubahan raut wajah Ruby pun kini tersenyum miring.
🍁
Pelajaran olahraga akan berakhir beberapa menit lagi, maniknya menatap bosan ke arah lapangan. Reynand menghampirinya dengan napas ngos-ngosan usai bermain basket, keringatnya bercucuran.
"Capek?" tanya Ruby begitu Reynand duduk di sampingnya.
"Lebih capek nunggu cinta lo sih, Le."
"Ck."
"Lo beneran udah putus dari Nadhif?"
"Hm."
Reynand mengangguk mengerti. “Sebentar lagi ujian, Le. Fokus ke studi aja dulu, lo harus bisa kejar impian lo.”
“Hm.”
“Gue... mau kuliah jurusan musik,” papar Reynand.
“Bagus dong. Itu kan impian lo dari dulu.” Ruby tersenyum tipis, tapi entah mengapa, perasaannya mendadak tidak enak mendengar pembahasan ini.
Reynand menelan salivanya susah payah. “Gue... mau ambil beasiswa di Trinity University, Le.”
Wajah Ruby memias. “I-itu kan, di Amerika, Rey...”
Reynand menghela napasnya gusar. “Sorry, Le. Ini permintaan oma. Lo tau kan, oma gue udah lama di Amrik, dan ga mungkin pergi jauh-jauh buat nemuin cucunya.”
“...”
“Keluarga gue mau pindah ke Amrik setidaknya sampe gue lulus nanti.”
Ruby hanya diam membisu, harapannya telah hilang satu-persatu. Pada akhirnya, semua orang akan pergi meninggalkannya sendirian. Hanya sunyi yang selalu menemani Ruby.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.