"Karena dari sekian banyak anggota tubuh yang ada, hanya mata yang tidak pernah bisa berbohong."
"Lo bener. Mulut emang bisa bohong, tapi mata nggak bisa bohong. Eh, tapi ada satu lagi, By."
"Apa?"
"Hati."
-I N V O L U T E-
"Ruby, lo nggak apa-apa?" tanya Nadhif saat mereka sampai di pekarangan rumah bercat biru pastel.
"Ruby?"
Gadis itu tak kunjung menyahut.
"By?"
Tetap tidak ada sahutan.
"Mansy Azalea Ruby."
"Hah? Kenapa, Dhif?"
"Lo kenapa, Ruby?" Nadhif bertanya dengan lembut. "Kita udah sampe dari tadi loh."
"EH, KOK NGGAK BILANG?!"
Nadhif terkikik geli. "Gue rasa mata lo masih cukup normal buat liat keadaan sekitar, By."
Ruby mendengkus. Lantas melompat turun dari motor Nadhif dengan hati-hati. Ia melepas helm yang ia pakai dan memberikannya pada Nadhif.
"Mikirin apa sih?"
"Hng, nggak ada."
"Yakin?"
"Yakin kok."
"Tadi Devan ngomong apa aja?"
"... ya gitu."
Nadhif tersenyum simpul. Enggan memaksa lebih jauh lagi. Nadhif mencoba menghargai privasi Ruby dengan Devan. Meski dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin tahu lebih banyak tentang Ruby.
"Gue tau hubungan lo sama Devan cukup... rumit."
Ruby menghela napas. "Nggak perlu dibahas. Sesuatu yang berkaitan antara gue sama Devan udah nggak bisa disebut hubungan."
"Kalo sesuatu antara lo dan gue, bisa disebut hubungan nggak?"
"Are you kidding me?" Ruby menatap Nadhif tidak percaya.
"I'm seriously."
"Oh, come on, Dhif. Apa itu penting?"
"Bagi gue itu penting, Ruby."
Ruby menghelas napasnya panjang. "Nadhif, bisa kita bahas ini lain kali aja?"
Nadhif tidak bisa memaksa. Baginya setiap kata yang keluar dari mulut Ruby adalah perintah.
Memang dasar bucin tingkat kuadrat.
Lagipula jika Nadhif salah dalam bertindak, apa yang hampir ia tangkap, bisa saja lepas sebelum tergenggam erat-erat.
🍁
