26 || Dua Enam

914 46 6
                                        

"Hal paling sulit dari bertahan adalah ketika hati dipaksa merelakan."

---

"Wake up, baby, aku pergi hari ini. Come on, dont forget late."

Sambungan terputus.

Ara merengkuh, ia merenggangkan pergelangan tangannya, menatap keluar, kenapa Arga harus berangkat sepagi ini.

Gerutuan pelan keluar dari mulut gadis itu, buru- buru bangun dan berlari ke dalam kamar mandi.

Belum sempat menghela napas, telinga Andrean disambut teriakan yang sedari tadi ia takuti, berasal dari kamar mandi adik tiri nya -Arasya.

"BANG ANDREAN! SABUN AKU KENAPA BEGINI?!!"

-aloha, my kapten!-

"Sya, abang minta maaf." mohon Andrean melirik Arasya yang mendengus keras- keras di samping nya.

Mereka dalam perjalanan menuju bandara. Melepas kepergian Arga dan club nya menuju jalur NBA.

"Abang harus nya bilang mau mandi di kamar aku, biar aku ganti sabun yang bolong-bolong gitu." omel Ara membuang tatapan ke trotoar yang sepi kendaraan.

Andrean meringis lega, ternyata Adik nya tidak tau apa yang ia lakukan. Hufth. "Iya, maaf." pinta Andrean memelas.

Ara mencebikkan bibir nya, "Abang mah gitu, ngulangin nya ga sebanyak minta maaf nya, nanti."

Andrean terkekeh pelan, ia membelokkan stir perlahan, tidak ingin menjadi pusat perhatian pada jalan yang jarang kendaraan. Karena memang hari masih pagi.

"Kamu nanti nyusul Arga ke sana?" tanya Andrean melirik Ara sekilas.

Ara terdiam. Mana mungkin ia kesana. Ia akan melanjutkan kuliah di dalam negeri, kalau keluar pun, butuh biaya tidak sedikit. Valdo mampu sebenarnya membiayai nya, tapi itu tidak bagus, memberatkan orang tua bukan kemauan Arasya.

Akhirnya Arasya menggeleng.

Andrean mengangguk mengerti, "Gue harap kepergian dia gak bikin lo ngeraung- raung di kamar dan meluk- meluk guling sok paling tersakiti." ejek nya. Membuat Arasya memukul cowok itu dengan power bank milik nya.

"Diem, abang!" emosi Arasya mencoba tenang.

Andrean tertawa geli, mereka hampir sampai di bandara.

"De," panggil Andrean dengan seringai jahil.

"Hm,"

Andrean menaikkan gas mobil, menarik napas dan menghebuskannya, menyeringai licik, dan.
Bruuum..

"ANDREAN SIALAN! GUE MASIH MAU NIKAH, JING!"

-aloha, my kapten!-

Senyuman di bibir Arga tercetak begitu melihat sosok Arasya yang berlari ke arah nya dan Andrean yang terpaksa mempercepat langkahnya mengikuti gadis itu.

"Ga, gue ke gate penerbangan kita, sebentar." izin Dyxon membenarkan topi nya dan berlari pergi. Sebenar nya itu hanya alasan untuk memberikan waktu berdua untuk Arga dan Arasya.

Arga mengangguk, walau Dyxon tidak lagi melihat nya.

Arga menatap lekat Ara yang kini berdiri di hadapan nya. Ara yang dulu ia perjuang kan, Ara yang dulu sering menangis jika teringat Valdo, Ara yang dulu selalu tersiksa dengan perlakuan Elvira, sudah berbeda, gadis itu nampak lebih bahagia dari sebelum nya. Arga berhasil. Mengembalikan senyum tulus itu seperti semula.

Sementara Arga sibuk dengan pikiran nya, Ara berkaca- kaca memandang cowok itu.

"Arga," panggilan itu membuyarkan lamunan Arga. Ia tersentak dan buru- buru mengangkat tatapan nya hingga pandangan mereka bertemu.

"Arga pergi?" tanya Ara sedikit tidak percaya.

Arga mengangguk.

"Arga, Ara pasti kangen banget sama Arga." Ara bergerak memeluk cowok itu, yang Arga sambut dengan hangat.

"Arga juga kangen Rasya," ucap Arga lucu, mencoba gentle dan tidak menangis walau hati nya teriris.

Ara melonggarkan pelukan nya, menatap Arga kini dengan sendu.

"Kita bahkan belum sempat punya hubungan.." celetuk nya membuat Arga makin merasa bersalah dan menunduk.

"Tapi, gue bahagia bisa kenal cowok sebaik lo, ga." Ara menggenggam kedua tangan Arga, tersenyum dalam tangis nya.

"Cowok yang baikk banget sama gue." ia menjeda, mencoba tersenyum walau air mata terus mengalir. "Cowok yang selalu ada buat gue, mau berjuang buat gue, seneng ngeliat gue bahagia."

Bahkan Arga tidak sanggup melihat wajah Arasya yang mengatakan itu sambil menangis.

"Jangan nangis, ra." kata Arga pelan.

"Kenapa? Lo gasuka kan? Tapi saat lo pergi nanti, gue bakal terus begini, ga. Nangisin karena gue gak sempet jalin hubungan dengan serius sama lo." sinis Ara, menutupi rasa kecewa yang amat dalam.

Arga menghempas tangan kanan Ara, menghapus air mata nya. Lo kuat, ga.

"Tapi lo tenang aja," Arasya tertawa hambar. "Gue mau lo kesana, berdiri didepan mesin skor NBA. Cetak angka sebanyak- banyak nya, dan teriakin nama gue sekenceng- kenceng, bilang kalo lo pernah berarti di hidup gue."

Tangis Arga makin menjadi mendengar kalimat itu, Arasya yang telah menaklukan hati nya, kini jadi orang pertama yang ingin Arga menang dengan menyebut nama nya.

"Gue.." dengan berat hati Arga mendongak dan tersenyum. "Pasti bakal sebut nama lo disana! Sekeras- keras nya! Sekenceng- kenceng nya! Sampe gue.. Sampe gue.. Bener- bener lupa, jarak antara kita itu jauh.." lagi Arga meradang di akhir kalimat nya.

Cowok itu terus menegarkan hati nya, namun tetap melepas takdir sama saja seperti melepas sejuta kebahagian di jalan satu nya. Dan kini Arga memilih jalan lain dengan mengikuti pertandingan NBA dengan jalur turnamen terus- menerus.

"Ra," ucap Arga di sela tangisan nya.

"Iya," jawab Ara dengan suara parau.

Arga menggenggam tangan Ara yang kini dingin, menatap iris coklat itu, iris yang dulu sangat Arga sukai dari nya.
"Tanpa gue, hidup lo harus tetap berjalan, kita akan belajar saling melupakan, belajar menguatkan diri sendiri."

"Jangan bilang gitu ga,"

Arga menggeleng, ia melirik Noah yang berdiri disampingnya menunjuk jam. Sudah waktu nya keberangkatan.

"Pesan gue cuma satu. Sama siapapun elo nantinya, cowok yang pernah hadir dan ngembaliin senyuman lo, cuma gue. Cuma gue. Lo harus ingat itu, sampai kita bertemu nanti.."

Usai mengatakan itu, Arga mengusap pipi Ara yang sudah basah dengan air mata, berbalik, dan berjalan pergi meninggalkan Ara dan Andrean yang membatu di tempat.

Jelas sekali, Ara merasa kehilangan.

Dengan sendu ia menatap Andrean.
"Bang?"

"Ya,"

"Sekarang gue percaya sesuatu."

"Apa?"

"Bahwa lo gaakan selama nya bisa bersama dengan seseorang yang lo cintai, selama takdir masih menghakimi."

-END-

GOODBYE ARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang