17 || Tujuh Belas

834 46 0
                                    

"Jadi, papa ketemu dia dimana?"

Valdo memicingkan matanya, menarik dasi panjangnya, dan mengikatkan, entah dari mana Andrean mengetahui hal ini.
"Kamu tau darimana?"

"Erland, mungkin.." jawab Andrean santai, ia duduk dan meminum air di gelasnya. "Jadi, kapan aku bisa lihat Arasya secara langsung?"

"Jangan, bodoh." ketus Valdo, laki- laki itu membuka tuxedonya yang menyisakan kemejanya lalu duduk disamping Andrean yang masih memandangnya intens, "Emang apa urusannya kamu ketemu anak kandung saya?"

Andrean tertawa, ia membuka jaket hitamnya dan menyampirkannya di sudut sofa, "Are you crazy, dad? Dia masih saudara tiri aku."

"Dia benci saya," sungut Valdo dingin.

"Kamu, bukan saya." alis Andrean terangkat, "Dimana rumahnya, hm?"

Tidak menjawab, Valdo justru menatap tajam cowok pemilik iris coklat terang dihadapannya. "Berhenti bicara tidak sopan, dan panggil saya dengan sepantasnya."

Andrean tersenyum kecut, membuang perasaan bencinya. "Okay, dad, okay. Tapi, sayangnya.. Hanya Erland anak kandung mu."

Valdo menggeram, ia benci mendengar hal itu, mulut Andrean terlalu tajam untuknya, "Ya, terserah kamu. Jadi, mau ngapain kamu temuin anak kandung saya?"

"Arasya?"

"Hm, cuma dia yang saya anggap." jawab Valdo enteng.

"Erland?" tuntut Andrean tajam.

Nyali Valdo sedikit menciut mendapat tatapan membunuh Andrean, akhirnya, ia hanya dapat mengangkat bahu sebagai jawaban.

"Papa harus tetep jaga Erland, kaya papa jaga Arasya." peringat Andrean sebelum akhirnya cowok itu beranjak dan pergi meninggalkan Valdo sendirian.

"Dia gila? Anak kandung gue cuma Arasya. What the hell man?"

«kptn»

"Seriusan? Yaila, bro! Lelah hayati," Noah tidak henti- henti menjerit mendengar Arga menambah jadwal latihan mereka menjadi extra.

Arga menatap Noah nyalang, ini bukan waktu untuk bercanda, turnamen tinggal menghitung hari, Arga sendiri sudah ketar- ketir menyiapkan segalanya, termasuk kualitas kaus yang akan tim nya pakai, sepatu, bahkan kualitas lapangan pun Arga sudah meminta datanya pada penanggung jawab pelaksana.

"Kalo lo ngeluh, gue suruh Alana putusin lo."

Mata Noah terbelalak, "Gila, jing. Normal lo? Jangan lah!"

Alis Arga naik, ia tidak peduli. "Where your brain? Berpikir jernih, gue nggak niatan nikung, njir."

"Tau, dikata arena balap." celetuk Raden, jangan tanyakan ia sedang apa, karena dunianya hampir kelam semenjak ia malas belajar, dan yang berada dalam genggamannya kini sebuah stik ps hitam dengan beberapa tombol warna- warni.

"Males banget lo, ye. Nge- game mulu." sindir Arga.

Raden memutar tatapannya, "Baru, setan."

"Lah anjir, pala lo melejot baru." Angga berdiri dan berteriak tidak terima. "Lo ngambil waktu main gue, njing. Dari sebelom Arga dateng, lo main terus."

Mendengarnya, Arga menarik kerah kaus Raden pelan, "Dengerkan?" bisik Arga agak tegas. "Balikin sekarang."

Raden meringis, ia hanya dapat mengangguk dan menyerahkan stik ps itu pada Angga yang langsung menjerit senang.

Tidak sampai disitu, belum beberapa menit setelahnya, Raden memajukan bibirnya, ngambek.
"Arga jahat, Raden sebel."

"Lah, bodo." kekeh Arga pura- pura tidak peduli.

"Yaudah," masam Raden membuka tutup buku dongeng entah milik siapa, yang jelas itu berada di kamar Arga.

"Gue aduin Arasya enak nih, biar dia jijik sama lo." lanjut cowok itu tanpa menormalkan bibirnya.

"Coba aja," Arga tersenyum miring, merampas buku dongeng dari pegangan Raden. "Kalo nggak lo yang dia bilang autis, ngadu sama perempuan. Itu kelamin ganti aja."

"Anjir HAHA," tawa Noah meledak mendengarnya, cowok itu bahkan sampai melempar stik ps Dyxon hingga si pemilik memelototkan matanya tajam.

"Itu ganti aja itu," ledek Noah lalu menarik kertas jadwal dari tangan Arga dan membacanya perlahan. "Lah, ga. Kok, kita pake pelatih?" cowok itu menaikkan alisnya tidak percaya.

Arga mengangguk santai, "Sengaja, biar tambah bener mainnya."

"Biaya?"

"Gue yang atur,"

"Sekalian biar gue nggak pusing mikirin kalian dan Rasya bersamaan. You know lha."

"Lo sayang Arasya, udah tau." sahut mereka bersamaan, seperti kalimat itu sudah benar- benar mereka hapal di luar kepala.

"Udah, jing. Malu gue," kata Arga menggaruk tengkuk lehernya pelan.

"Yaelah santai, aja. Udah biasa, ye gak?" Ian menetralkan suasana.

"Iyeeee, kaya baru kenal aje, pak kapten." ucap bariton suara tim basket, nada nya jelas mengejek.

"Iyee, anggota." balas Arga tak mau kalah.

"Serah tuan muda aja dah, ea." Ian terkekeh geli.

"Tuan muda titisan dewi durga." seloroh Angga tertawa sendiri.

"Arga.."

Suara itu menghentikan tawa yang tengah menggema dikamar itu. Semua mata beralih menatap gadis yang membawa sepiring nasi ditangannya.

Arga mengerjapkan matanya, dengan langkah cepat ia bisa berdiri didepan gadis itu.
"Lo kenapa, sya?"

Arasya menggeleng dan menyodorkan piring berisi nasi dan ayam itu pada cowok itu. "Gue nggak mau makan, tapi nggak enak sama bunda."

Arga menatap kosong piring berisi itu, lalu ia mengangkat kepalanya dan memberikan tatapan pengertian pada gadis dihadapannya.
"Lo bisa makan kalo lagi mau,"

"Makan aja, sya. Nanti lo sakit." ucap Noah ikut berdiri dan mendorong piring itu hingga kembali terdekap dalam posisi tangan gadis itu.

Arasya memandang Arga lama, hatinya mulai tidak enak terlalu menyusahkan Arga dan keluarganya, tapi sungguh, ia sedang tidak ingin makan apapun. "Oke, gue makan.. Maaf," usai mengatakannya Arasya berbalik meninggalkan cowok itu dan teman- temannya.

"Are she fine?" Noah menatap Arga, alisnya terangkat.

"Ya, dia cuma butuh waktu buat nerima segalanya yang berubah." Arga kembali duduk, kali ini ia bersandar di bahu Dyxon, "Gue lelah, man.."

«kptn»

GOODBYE ARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang