"Happy reading"
Malam begitu tenang. Menemani setiap ingatan azka yang kembali berputar saat di mal tadi. Tangannya menjadi penopang diatas pagar kecil, sesekali cowok itu menghela napas dalam. Angin malam seakan menambahkan rasa percayanya saat itu juga. Ada dua kemungkinan yang azka bisa tebak dalam dirinya,
Pertama, debaran itu muncul karena mungkin ia menyukai gadis itu. Kedua, debaran itu muncul karena hanya senyuman gadis itu yang membuatnya begitu terpikat. Lebih tepatnya, ia hanya tertarik.
Kecanggungan azka saat berhadapan membuatnya berpikir keras. Berusaha mengingat jika dulu, saat seperti ini, ia juga pernah merasakan kepada gadis lain. Kerutan didahinya semakin dalam. Azka tidak ingat. Atau memang tidak pernah.
Hembusan kasar terdengar setelah cowok itu menyudahi pikirannya. Demi apa jika dia benar menyukai gadis itu? Azka benar benar tidak mengerti sekarang. Mereka bertemu dalam waktu yang belum lama. Dan itu semakin membuatnya bingung dan heran. Ini seperti, salah.
Namun, bolehkah azka menapik? Jika memang benar adanya, untuk apa ia mengabaikan ini.
Azka sendiri tidak ingin munafik. Ketika didekat gadis itu senyumnya selalu mengembang hanya dengan melihat tingkahnya. Azka menggeleng pelan. Ia merasa seperti korban disini.
Apakah hanya dia yang merasakan ini? Lalu, gadis itu? Tapi jika azka lihat, tidak ada raut suka atau lainnya yang ditunjukkan oleh gadis itu. Tertawa memang karena tingkah dan ucapannya lucu. Baik? Jika karena dilihat dari sananya, gadis itu memang baik. Terbukti saat gadis itu sering menolongnya.
Oh! Apakah azka sudah menyebutkan nama gadis yang sedang ia pikirkan. Maaf sekali jika nama gadis itu terlambat ia sebutkan. Karena azka sedikit.. Ragu menyebutnya. Mungkin. Dan semakin bertambah ragu. Saat bayangan wajah tasya melintas begitu saja juga mengingat perkataannya di mal tadi. Raut wajah gadis itu terlihat aneh. Seperti tidak mengerti. Azka bisa menyimpulkan. Sama sekali, tasya tidak ada rasa kepadanya.
Gadis itu hanya menganggap ia teman.
Hanya teman yang baru kenal dan bisa seakrab sekarang.
Azka menggurutu dalam hati. Meski menyangkal berkali kali pun. Tetap saja, ia merasa aneh. Azka tidak ingin terburu buru. Ia tahu penyesalan datangnya keseringan saat kapan.
Karena itu, azka lebih memilih menunggu. Menunggu arti jumpa mereka yang sesungguhnya. Membawa debaran ini, hingga waktu yang menjawab. Azka mengerti apa yang harus ia lakukan.
Tok tok tok
"Woii.. ka, makan dulu gih. Jangan sok sok an diet lo. Udah kurus jadi makin kurus."
Suara teriakan plus gedoran pintu membuat azka mendelik kesal. Kakaknya yang satu itu tidak seharusnya menjadi dokter spesialis jantung. Harusnya dia jadi penjual atau apapun yang membutuhkan suara teriakan. Maling? Eh salah. Mana bisa maling teriak tolong. Kan si korban yang harusnya teriak.
"Bentaran. Gua ganti baju dulu."
"Lo ganti bajunya gimana sih, ka? Bisa sejam gitu? Bagi tips lah sama, gue."
"Sarap lo."
Clik
P

KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
Teen FictionGanti judul. Flusso D'amor ➡ shaka Munafik jika tasya mengatakan tidak ada perasaan pada cowok itu. Nyatanya, setiap berada didekat cowok itu, tasya selalu berdebar. Menahan sesak ketika berhadapan langsung dengannya. Tasya tidak akan berbohong tent...