☀️43

1.2K 80 6
                                    

"Sini Rel," panggilnya pelan sembari tangannya bergerak memberi isyarat agar Darel mendekat.

"Darel Pranata, Wafat 21 Juli 2017..." Darel tersentak, matanya melebar lalu ditatapnya Dyra dengan tatapan sedih sekaligus kaget.

Gadis itu duduk di samping makam Ayahnya, sedangkan Darel mengambil posisi berseberangan dengan Dyra.

Darel memang tidak bisa memungkiri jika rasa sayangnya untuk gadis di depannya itu masih ada, salah, tepatnya masih utuh dan sama seperti dua tahun yang lalu.

Dia berusaha bersikap biasa saja, berusaha menunjukan sikap dinginnya. Penghianatan yang Dyra lakukan harus dibalas. Tapi siapa sangka jika pertahanan Darel goyah begitu ia mendengar rintihan penuh kesedihan dari gadis itu.

Andai saja hubungan mereka tidak rumit, pasti saat ini Darel akan memeluk Dyra dan membantunya untuk bahagia.

"Ayah..." isak Dyra. "Dyra kangen."

Tangis Dyra tidak berhenti sejak ia menginjakkan kaki di pemakaman Ayahnya. Darel jadi ikut menahan tangis.

Sosok Ata sangat sempurna di mata Darel, dan dia tahu betul alasan utama Dyra jatuh cinta padanya adalah karena kesamaan nama mereka. Darel tahu jika Dyra pasti menderita sekali karena harus ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh lelaki paling berharga dalam hidupnya itu.

"Ayah." Dyra menangis sambil mencium batu nisan Ata.

"Kenapa Ayah tinggalin Dyra begitu cepat. Dyra kehilangan Ayah. Sekarang udah hampir 6 bulan semenjak Ayah pergi. Tapi Dyra, Abang, bahkan Bunda, kita semua nggak ada yang bisa berhenti nangis kalo inget Ayah." Dia terus-terusan menangis, sambil menaburkan bunga yang ada di tangannya.

"Sekarang, setiap perayaan ulang tahun Dyra, semuanya terasa hampa. Nggak ada tawa ceria lagi. Nggak ada pelukan hangat dari Ayah lagi. Nggak ada..." tangisnya berhenti napasnya tercekat, ia menangis sesegukan.

Tanpa Darel sadari, dia langsung berpindah posisi dan menopang tubuh Dyra yang hampir roboh.

Kemudian Dyra memeluk Darel sambil menangis di bahunya. "Darel, kamu jangan pernah tinggalin aku lagi. Aku mohon Rel."

Saat ini membuat Dyra berhenti menangis merupakan yang terpenting. Jadi dia langsung mengiyakan permintaan gadis itu.

Darel mengusap punggung Dyra perlahan, "Hmmm... Iya."

Dyra jadi jauh lebih tenang, Darel pun melepaskan pelukanya. Lalu menghapus airmata gadis itu dengan kedua tangan.

"Udah, jangan nangis. Kamu harus ikhlasin kepergian Ayah kamu."

Dyra tersenyum tipis, lagi-lagi Darel merasa hatinya berdebar, senyum Dyra benar-benar menghipnotisnya.

"Jangan ngomong gue, elo lagi ya Rel meskipun kamu lagi marah sekali pun," Dyra tiba-tiba keluar dari topik pembicaraan.

Darel menganggukkan kepalanya. "Ayo pulang. Nggak baik lama-lama nangis di makam."

Dyra berdiri, lalu ia mengulurkan tangan ke arah Darel.

Darel pun mendongakkan kepalanya tapi tidak menerima uluran tangan gadis itu.

"Kamu tunggu di motor ya. Aku mau berdoa dulu."

Setelah dia memastikan Dyra sudah menjauh, barulah Darel buka suara.

"Assalamualaikum, Om. Maaf, saya baru bisa dateng ke makam om," katanya dengan suara bergetar.

"Maaf, karena saya nggak akan bisa nepatin janji saya. Saya nggak bisa jadi pendamping anak Om, saya juga nggak akan bisa gantiin Om buat jaga dia." Bibirnya bergetar hebat, diikuti napas yang mulai tersengal-sengal. Darel mati-matian menahan tangisnya.

Wachten / Menunggu [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang