☀️49

1.3K 87 4
                                    

Jika saja waktu bisa ia kendalikan ingin rasanya ia kembali ke hari itu. Hari dimana Dyra mengetahui perihal saudara kembar Darel.

Seharusnya hari itu dia bisa mengendalikan emosinya, Darel berbeda dari manusia kebanyakan. Hatinya sudah luka karena banyaknya penghianatan yang ia dapat sejak kecil.

"Aku nggak nyangka ternyata aku nggak ada artinya di mata kamu. Aku bener-bener speechels, kamu nggak berusaha sama sekali buat pertahanin hubungan ini."

"Aku nggak pantes berusaha perbaikan semuanya. Ini semua terjadi karena kebodohan aku, kamu udah mutusin aku dan itu keputusan terbaik Dyr," Darel tersenyum, bibirnya terlihat bergetar ia berusaha membendung airmatanya.

"Menunggu itu sulit Rel. Apalagi ketika dalam prosesnya hadir seseorang yang begitu tulus dan berusaha bantu aku lupain kamu. Kadang muncul niatan untuk nutup buku lama dan mulai kisah baru dengan dia, tapi aku nggak berdaya karena hatiku masih terus bertahan dan pikiran aku masih terus nyari tau semua tentang kamu yang entah kenapa pergi tanpa ngasih tau alasannya."

Dyra mengepal tangannya lalu memukul dada bidang milik Darel, sedangkan Darel ia pasrah menerima semua pukulan dari Dyra. "Kalo akhirnya kamu bakal lepasin aku segampang ini, kenapa dulu kamu mati-matian berusaha dapetin aku?"

"Semuanya salah aku, aku nggak tau diri. Nggak seharusnya aku jatuh cinta sama kamu."

"Kenapa kamu bisa lebih percaya Kalvin daripada aku? Aku nggak pernah selingkuhin kamu Rel! Nggak pernah! Kenapa kamu nggak tanya aku? Kenapa kamu langsung nyimpulin sendiri?!"

"Hidup aku penuh penghianatan, pertama Ibu, dia tega ninggalin anak-anaknya demi kebahagiaannya sendiri. Kedua Deril, dia Kakak kembarku tapi dia ninggalin aku sama Disty disaat keluargaku hancur. Setelah itu Kalvin, dia udah aku anggap lebih dari sahabat, tapi aku nggak pernah nyangka kalo dia tega hancurin hidup Disty dengan ngasih tau Gaftan tentang kondisi Ibu. Cuma kamu harapan aku, aku berharap kamu bisa peluk aku disaat aku berada di titik terlemah dalam hidupku. Tapi malam itu aku ngeliat pemandangan yang makin bikin aku benci sama semuanya. Kamu keliatan bahagia banget dalam pelukan cowok lain."

"Kamu bilang cinta itu tentang kepercayaan, tapi kenapa? Kenapa malam itu kamu nggak percaya aku?"

Darel diam. Menurutnya sudah tidak ada lagi yang perlu diceritakan. Semuanya sudah berakhir, ia takut Dyra berubah pikiran. Baginya Dyra bukan miliknya lagi, sudah seharusnya Dyra menjadi milik Alan.

"Aku mau kamu hidup tanpa bayang-bayang aku lagi. Kita udah putus, kamu bebas lanjutin hidup sama siapa pun. Aku bakal balik ke Belanda, dan aku nggak mau ngelakuin kesalahan yang sama, pergi tanpa pamit. Besok aku bakal balik ke Belanda, aku pamit Dyr."

"Buat apa kamu kembali kalo akhirnya kamu bakal pergi lagi? Itu lebih nyakitin aku Rel! Aku mohon, balik jadi Darelku yang dulu. Darel yang manis dan selalu lakuin apa pun cuma buat aku senyum."

Dyra meraih tangan Darel. "Kita lupain kata putus yang aku ucapin kemaren. Aku mau kita baikan Rel."

"Nggak... Aku nggak bisa."

Tiba-tiba terdengar suara mobil berdecit tepat di depan keduanya, mobil merah milik Alan berhenti. Ia terlihat sangat murka, ia membanting pintu kemudian mendekati Dyra dan Darel.

Kenyataannya rasa cinta Dyra pada Darel mampu meredam kekecewaannya. Ia melupakan semua amarahnya karena telah dipermainkan. Usahanya untuk mengakhiri hubungan dengan Darel pun berakhir sia-sia karena pada akhirnya hatinya ingin tetap bersamanya.

"Kamu kemana Rel? Aku belum selesai ngomong, urusan kita belum selesai." Dyra mencegah Darel dengan berdiri di depannya sambil melebarkan kedua tangan.

Wachten / Menunggu [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang