☀️50

1.4K 86 3
                                    

Kita adalah dua insan yang dipersatukan oleh Tuhan. Dipisahkan, lalu kembali bersatu dengan perasaan cinta yang tidak berkurang sedikit pun

 Dipisahkan, lalu kembali bersatu dengan perasaan cinta yang tidak berkurang sedikit pun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

Jam dinding di sisi kamar rumah sakit tempat Dyra terbaring menunjukan pukul 09:00.

Lima menit berselang bunyi deringan keras dari ponselnya membuat Dyra terbangun. Perlahan ia membuka matanya, melihat sekelilingnya namun tidak ada siapa pun disana.

Dyra mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam, sampai ia harus berakhir di tempat ini. Setelah itu ia tentunduk lesu, matanya mengerling menatap ponselnya yang kembali berdering.

Dia memperbaiki posisinya dan duduk di sudut ranjang, kemudian meraih benda ajaib itu. Ada 17 panggilan tidak terjawab dari Deril.

Ia mengangkat tangan dan menyeret jarinya untuk menekan tombol terima. Namun sebelum telunjuknya berhasil menekan tombol, panggilan itu sudah ditutup.

Dyra berpaling, berdiri di depan jendela besar di dekat ranjangnya, tiba-tiba ada satu pesawat yang melintas di hadapannya. "Aku pamit." Kalimat Darel semalam melintas di benaknya.

Dyra baru sadar kenapa Deril berkali-kali menghubunginya. Dia buru-buru mencari kontak Deril dan meneleponnya tapi hasilnya nihil. Tidak ada satu pun panggilan darinya yang dijawab.

Dyra berlari keluar dari kamar inapnya, ia berlari sambil memegang kepalanya yang terasa sakit. Ketika ia tiba di lorong rumah sakit ia berpapasan dengan Alan yang baru saja tiba setelah membelikan bubur untuknya.

"Kamu mau kemana Dyr?" Alan menghampiri Dyra. Wajah gadis itu terlihat pucat, tubuhnya bergetar hebat, matanya pun tak henti meneteskan airmata.

Semalam Alan sudah menghalanginya untuk mengejar Darel. Karena itu Dyra pun tidak menggubris ucapan Alan, ia berjalan melewati Alan. Sekujur tubuhnya bergetar hebat, kakinya pun lemas, karena itu setelah berjalan tiga langkah, perlahan tubuh mungilnya pun terjatuh di lantai. Dyra tidak sanggup menerima kenyataan jika ia kembali kehilangan Darel.

"Enggak Rel. Kamu nggak boleh balik ke Belanda gitu aja."

Alan mendekati Dyra yang menangis tersedu-sedu, dan ikut duduk di depannya. Belum sempat ia mengucap satu kalimat, Dyra langsung angkat bicara.

"Jangan halangin aku lagi Kak. Aku mohon."

Seandainya bisa, ingin sekali Alan memeluk gadis itu, membenamkan kepalanya. Darel sudah kembali, yang gadis itu butuh hanya Darel. Alan sudah kehilangan haknya untuk membuat Dyra tersenyum bahagia.

"Kamu mau kemana? Biar Kakak yang anter."

***

Dyra membuka pintu mobil dan berlari masuk ke dalam halaman rumah Darel. Ia menekan tombol bel secara membabi buta sambil sesekali ia mengetuk pintu.

"Rel! Darel! Keluar, ini aku Rel," ujarnya berurai airmata.

Dyra melangkah mundur saat ia mendengar ada yang membuka pintu.

"Ibu!" Dyra langsung memeluk Hana, gadis itu sedikit merasa tenang saat melihat sosok perempuan yang begitu Darel lindungi berdiri di depannya.

"Darel mana Bu? Dia ada di dalem kan?"

Hana melepas pelukan Dyra lalu menyeka airmata gadis itu.

"Darel nggak ada di dalem sayang. Dia udah pergi." Hana menatap Dyra dengan tatapan yang tidak kalah sendu dengan gadis itu.

"Maksud Ibu apa? Darel ada di dalem kan? Dia nggak mungkin ninggalin Dyra tanpa pamit lagi Bu. Enggak mungkin!"

"Darel baru aja pergi ke bandara. Maafin Ibu. Ibu nggak bisa cegah dia."

Setelah mendengar kalimat itu Dyra pun langsung berlari ke arah jalan. Ia melihat sekeliling, mobil Xpander hitam milik Deril baru saja hilang di ujung jalan.

Dengan sisa-sisa tenaganya Dyra mengejar mobil itu. Tubuhnya masih lemah dan kakinya pun tidak berhenti bergetar. "Rel! Darel!" teriak Dyra.

Dengan kondisinya yang masih lemah, Dyra pun berhenti berlari. Ia menatap kepergian mobil itu.

"Darel..." lirihnya pelan.

Ia masih tertegun disana sampai akhirnya Alan menghentikan mobilnya tepat di sebelah gadis itu dan memanggilnya dari dalam mobil. "Kamu mau tetap nangisin dia di sini atau berusaha cegah dia pergi?"

***

Di ruang tunggu bandara. Darel duduk sendirian memegangi tiketnya. Untuk kesekian kalinya panggilan boarding menggema disetiap sudut bandara.

Dada Darel semakin bergemuruh, hatinya terasa nyeri. Kegelisahan dan kebingungan tampak jelas di wajah tampannya. Matanya mengerling menatap sekeliling ruang tunggu. Kursi-kursi di sana sudah mulai kosong.

Darel menghela napas berat. Dengan berat hati ia pun bangkit lalu berjalan menuju pintu boarding.

Ia menyerahkan boarding pass-nya pada petugas yang berjaga di dekat pintu.

Darel terlihat sangat kebingungan ketika ia kembali teringat mimpinya semalam. Dimana Ayah Dyra menatapnya sendu tanpa sepatah kata pun. Hal itu seperti mengisyaratkan jika ia kecewa karena Darel tidak menepati janjinya.

Darel mencoba melanjutkan langkah, melewati pintu boarding menuju tempat pesawat yang akan membawanya ke Belanda. Baru berjalan beberapa langkah, ia berhenti. Suara sendu Dyra yang memanggilnya kemarin menggema di pikirannya membuat pertahanan di hatinya remuk dan hancur.

Darel mematung. Tanpa ia sadari tangannya meremas tiket yang ada di tangannya lalu berputar balik dan berlari keluar.

Ia sadar. Meninggalkan Dyra bukan lah jalan keluar yang tepat, karena gadis itu cuma menginginkannya dan dia lah sumber kebahagiaannya.

Satu lagi. Darel akan memperbaiki semuanya. Selama dua tahun ini Dyra sudah sangat cukup menderita. Kalau dia pergi lagi maka itu artinya Darel bodoh!

Di lain sisi, Dyra baru saja masuk ke dalam bandara. Ia berlari ke sana kemari namun tidak juga berhasil menemukan keberadaan Darel.

Dyra melihat jam di tangannya. Pukul 11:00, dia terlambat. Pesawat yang dinaiki Darel baru saja take-off. Dyra masih tetap berusaha ia berlari kesana kemari mencari Darel. Setelah satu jam berlalu, Dyra pun menghentikan langkahnya.

Ia duduk di salah satu kursi yang berada di bandara menutup wajahnya dengan dua tangan lalu menangis sekencang-kencangnya. Dyra tidak bisa menerima kenyataan jika Darel sudah benar-benar pergi meninggalkannya.

Orang-orang yang melihat kondisi Dyra pun saling berbisik dan membicarakan apa yang terjadi. Jika dilihat dari kondisi Dyra yang terlihat sangat sedih mereka pun menarik kesimpulan jika Dyra baru saja ditinggal pergi oleh orang yang sangat ia kasihi.

***

Darel berjalan di sekitar pemakaman tempat Ayah Dyra disemayamkan. Ia mencoba mengingat-ingat letak makam dari Ayah perempuan yang paling ia cinta itu.

Ia membaca satu persatu nisan demi nisan yang ia lewati dan berhenti ketika membaca nama Darel Pranata pada salah satu nisan yang berada tepat di bawah pohon besar.

Darel duduk di samping makam itu. Ia menutup mulutnya dengan tangan karena hampir saja ia menangis, satu tangannya pun buru-buru ia gunakan untuk menyeka airmata.

"Maafin Darel, Om. Maafin Darel karena udah bikin putri kesayangan Om sedih. Tapi mulai sekarang Darel bisa pastiin hari-hari Dyra bakalan penuh senyuman. Darel nggak akan ngelepasin putri Om lagi. Darel yang bakal bikin dia bahagia."

***

Wachten / Menunggu [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang