2

90 9 0
                                    

.
.
.
.

Seorang wanita cantik menatap ke arah jam dinding. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang karena ini sudah kesekian kalinya ia memperhatikan jam dinding itu. Dirasa masih lama, ia pun kembali menyibukkan dirinya. Ia masuk ke dapur dan melanjutkan kegiatan memasaknya yang sempat terhenti.

Sesekali ia bersenandung dalam kegiatannya, sungguh orang-orang tidak akan percaya jika wanita cantik bernama Lea ini sudah berumur hampir 40 tahun.

"Dylan sangat menyukai ini," gumamnya. "Aku akan meminta maaf dengan ini."

"Aku pulang."

Terdengar suara yang sangat Lea kenal, ia bergegas membuka pintu.
Dylan tersenyum saat melihat sosok ibunya di depan pintu, tapi sang ibu malah membalasnya dengan ekspresi datar. Dylan kecewa melihat ekspresi ibunya, ia pun masuk dengan perasaan sedih.

"Apa Ibu masih marah? Apa memukulku tidak membuat Ibu memaafkanku?" batin Dylan seraya masuk kamar.

"Cepat ganti baju, Ibu tunggu di ruang makan." Lea berujar dari depan kamarnya.

"Iya, Ibu."

.

Dylan terkejut dengan apa yang ia lihat di atas meja karena meja makan penuh dengan makanan-makanan enak.

"Ibu.."

"Hm?"

"Apa Ibu menang lotre lagi sehingga Ibu masak begitu banyak?" Dylan bertanya dengan hati-hati, takut ibunya semakin murka.

"Duduklah dan makan."

Tanpa babibu lagi, Dylan langsung menikmati makanan yang sudah disiapkan oleh ibunya. Sungguh tidak sia-sia Dylan menahan lapar karena bekalnya tadi dimakan oleh Lusi.
Semua makanan di hadapannya sekarang merupakan makanan kesukaannya.

Dylan dibuat bingung, sebenarnya ibunya masih marah atau sudah memaafkannya? Ia ingin menanyakannya, tapi ia takut akan mendapatkan jawaban ketus dari wanita yang sangat ia sayangi itu.

Lea tersenyum melihat Dylan makan dengan lahap, perlahan-lahan ia mendekati Dylan. Dylan yang menyadari langsung saja menghentikan kegiatan makannya.

Dylan sudah berprasangka buruk saja, ia menatap ibunya dengan tatapan takut, tapi rasa takut itu berubah jadi kebingungan saat ibunya tiba-tiba saja memeluknya.

"Maafkan Ibu..."

Dylan seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar, ia memilih diam saja.

"Apa masih sakit, hm?" Lea melonggarkan pelukannya dan menatap anak kesayangannya itu.

"Iya, Ibu. Coba lihat punggungku, masih ada bekas tangan Ibu." Dengan polosnya Dylan menjawab pertanyaan ibunya.

"Makanya jangan membuat Ibu khawatir, ke mana pun kau ingin pergi beritahu Ibu. Ibu akan mati jika terjadi sesuatu padamu." Lea sangat merasa bersalah karena telah memukul kesayangannya.

Dylan sebenarnya ingin menceritakan kepada ibunya kenapa kemarin ia tiba-tiba memilih tidak pulang dan malah menginap di apartemen milik ibunya, tapi ia takut ceritanya malah akan membuat ibunya semakin khawatir.

Lea terlihat ingin mengelus kepala Dylan, tapi kemudian Lea teringat sesuatu, ia beralih dan lebih memilih mengelus pundak Dylan.

Sekarang giliran Dylan yang memeluk ibunya.

"Seharusnya aku yang meminta maaf karena sudah membuat Ibu khawatir, aku tidak akan lagi tidur di apartemen tanpa memberitahukan Ibu." Dylan sangat menyesal telah membuat ibunya khawatir.

Lea tersenyum, ia senang saat Dylan menyadari kesalahannya, lalu menjadi anak yang penurut.

"Sudah-sudah, cepat habiskan makananmu." Lea menangkup wajah Dylan.

"Apa malam ini Ibu bekerja?" tanya Dylan tiba-tiba, seakan mengalihkan topik.

"Tentu saja, tadi malam Ibu sudah tidak bekerja gara-gara memikirkanmu," jawab Lea menatap tajam Dylan.

"Bukankah tempat itu milik Ibu, jadi untuk apa Ibu ikut bekerja di sana?" tanya Dylan mempoutkan bibirnya lucu.

"Ibu hanya menyalurkan hobi Ibu di tempat itu." Lea menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya.

"Saat Ibu bekerja kadang aku merasa bosan di rumah, bagaimana kalau Ibu membelikanku playtasion, agar aku tidak bosan ketika di rumah sendirian." Dylan menatap ibunya penuh harap.

"Sampai kapan pun Ibu tidak akan membelikannya, waktumu akan digunakan untuk bermain game, kau akan tidur larut malam, kau akan lupa makan karena terlalu asik bermain game. Ibu tidak senang kau seperti itu, lagi pula kau masih bisa bermain game di ponselmu, kan." Lea menolak mentah-mentah permintaan anak semata wayangnya, dan tentu saja itu membuat Dylan sedikit kesal. Padahal ia meminta di saat-saat seperti ini agar ibunya luluh.

"Ini untuk kebaikanmu, Sayang." Lea mengelus pipi Dylan.

"Selalu," batin Dylan kesal.

Tiba-tiba ponsel Dylan berdering, Dylan menatap layar ponselnya lalu mengabaikannya, ia kemudian mematikan ponselnya.

"Dari siapa? Kenapa tidak diangkat?" tanya Lea penuh selidik.

"Lusi, Bu. Aku sedang malas berbicara dengannya, dia selalu memanggilku Dylani Dylani." Ekspresi Dylan berubah seolah-olah ia kesal karena Lusi, padahal ia kesal karena permintaannya tidak dikabulkan.

"Tidak baik mengabaikan temanmu, mungkin ada hal penting yang ingin dia bicarakan denganmu," tegur Lea atas sikap Dylan.

Dylan nampak berpikir sejenak. "Baiklah, Ibu. Nanti akan aku hubungi dia."

Lagi, Lea tersenyum melihat Dylan yang selalu patuh padanya.

"Ya sudah habiskan makananmu, Ibu mau siap-siap dulu." Lea berdiri dari posisi duduknya.

"Aku sudah kenyang. Kalau begitu aku mau tidur saja ya, Bu. Hati-hati kalau sedang bekerja." Dylan mengecup pipi ibunya, lalu melesat menuju kamarnya.

.
.
.
.

Kris menatap foto mendiang ayah dan ibunya dengan tatapan sendu, ada sedikit kerinduan di benak Kris kepada mereka berdua. Dan hal yang paling ia rindukan ialah kedamaian dan kebersamaan dengan keluarganya.

###############################

Bersambung
Tetap semangat walaupun tanpa penyemangat 😂😂😂

Darah Berlian✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang